BAB 1. Pemakaman

99 15 5
                                    




1.

Udara dingin disertai angin kencang tidak menggoyahkan jalan seorang laki-laki yang terlihat terburu-buru menuju rumah di ujung jalan komplek Bimantara Blok-C. Sesampainya di depan rumah bertuliskan KETUA RT 3 BLOK-C yang dicat warna coklat, laki-laki tersebut segera menghampiri pintu dan mengetuk dengan tidak sabar.

    Duk... duk... duk...

"Pak Dawi ada berita duka...!" seru laki-laki itu sambil menggedor pintu. Ia terlalu panik sehingga lupa tidak mengucapkan salam. Ia mengulang kalimat yang sama sebanyak tiga kali lalu sesaat kemudian terdengar suara dari dalam rumah dan pak Dawi muncul dari balik pintu dengan wajah setengah tidur.

"Hhehh ngger... siapa?"

"Aswatama..."

Mendengar jawaban tersebut pak Dawi terkesiap dan langsung menegakkan badan. Tanpa perlu bertanya ia sudah menduga siapa yang meninggal. Ia segera berbalik dan menyambar baju koko yang tersampir di lengan kursi ruang tamu. Sambil memakai baju pak Dawi mulai menyusun rangkaian kegiatan yang harus dilakukan. Setelah berpamitan kepada istrinya, ia segera menghampiri Angger di depan rumah.

Angger, pemuda yang setengah mengantuk itu mengikuti langkah cepat pak Dawi sambil terus berdecak dan mengeluh dalam diam. Kenapa harus jam segini sih?!

Beberapa menit kemudian mereka berdua sudah sampai di rumah keluarga Aswatama yang berada di blok-E nomor 112-113. Warga komplek sudah berkumpul dan menunggu arahan pak Dawi. Tepat pukul empat pagi mobil ambulance datang diikuti satu mobil berwarna hitam di belakangnya. Adzan subuh yang berkumandang berbaur dengan sirine mobil ambulance seolah membuat melodi duka yang mendalam.

Pak Dawi dan beberapa warga dengan sigap membantu membawa jenazah Nenek Sutari untuk segera dimandikan, sedangkan warga lainnya bersiap untuk sholat dan meletakkan keranda di tengah ruang tamu.

    "Sabar ya nak... nenekmu orang baik."

    "Turut berduka ya..."

    "Tadi meninggalnya jam berapa nduk?"

    "Ya Allah... padahal kemarin masih belanja di tokoku. Surga buat Nek Sutari."

    "...yang kuat ya..."

    "Ini awalnya sakit apa sih mba? Ya Allah..."

    Naura yang terduduk lemas di depan keranda tidak menghiraukan kalimat penghiburan dan pertanyaan yang diajukan para tetangga. Sebagai gantinya Tante Ratna dan Tante Ratri yang bergantian menjawab sambil mondar-mandir keluar masuk kamar nenek Sutari.

2.

Pukul setengah tujuh pagi pemakaman selesai dilakukan. Satu per satu warga meninggalkan gundukan tanah merah yang dipenuhi bunga mawar dan kenanga segar. Naura masih belum beranjak, wajahnya terlihat datar dan menerawang menembus pusara neneknya. Setiap orang yang melintasinya meninggalkan tepukan hangat di pundak, mengusap kepala dan memeluknya.

Pak Dawi dan istrinya memberikan pandangan iba setelah menepuk pundak Naura sambil mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja dan meminta Naura untuk selalu meminta tolong jika butuh bantuan.

Bisik-bisik para warga, deru motor berlalu lalang dan aroma wangi dari bunga menemani Naura yang sedang melamun. Saat ini ia tidak memikirkan apapun. Seperti deja vu, ia merasa telah melakukan rutinitas yang sama berulang-ulang. 

Hampir tiga tahun sekali ia duduk di pemakaman. Pertama ibunya lalu ayahnya yang kemudian disusul kakaknya. Rasa sedih, hampa, marah sepertinya sudah tidak tersisa. Naura sama sekali tidak menitikkan air mata melihat jenazah neneknya. Ia hanya berkata kecil di dalam hati,

"Ini aku beneran ditinggal sendirian? Udah gini aja?"

Tante Ratna, Om Bayu, Tante Ratri, Om Yuda dan anak-anaknya duduk mengelilingi pusara dan berdoa dalam diam. Mereka mengajak Naura pulang tapi ia berkata akan tinggal sebentar lagi. Dilihatnya keluarga adik ayah yang terlihat menundukkan kepala. Kalian harus sehat dan bahagia selamanya, batin Naura.

Matahari sudah terik ketika Naura beranjak dari duduknya, tapi belum sempat ia melangkah terdengar teriakan dari Winda yang berlari memeluknya sambil menangis. Naura tersenyum dan merasakan kehangatan. Setidaknya aku masih memiliki satu sahabat yang masih mau bertahan menemaniku selama ini.

Sebelum pulang Naura menghampiri makam ayah, ibu dan kakaknya yang berada tidak jauh dari makam nenek. Ia tidak mengatakan apa-apa hanya memandang kosong selama beberapa menit lalu pergi.

Di kejauhan seseorang mengamati setiap gerak-geriknya. Pakaian orang itu serba hitam ditambah penutup kepala dan kacamata berwarna sama. Setelah memastikan pemakaman sepi. Orang itu melangkah mendekat ke makam keluarga Aswatama. Satu per satu ia pandangi sambil menaburkan bunga mawar segar.

Siapakah keluarga Aswatama?
Baca ceritanya lebih lanjut di bab berikutnya ya...

ParadoksTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang