three

73 26 0
                                    

Cerita berikut hanya fiksi jika ada typo, kesalahan nama karakter dan penulisan yang kurang rapi harap dimaklumi.

Happy reading!

♧♧♧♧

Briel dengan wajah pucat bersandar lemas di ranjang pesakitan salah satu rumah sakit elit di kota tempat tinggalnya. Sambil memegangi kepalanya yang berbalut perban, wajah pucat itu berkerut, tangannya dengan sengaja menekan lapisan perban itu membuat dia kemudian mengaduh kesakitan akibat ulahnya sendiri.

Ibunya, Diana Mallos. Duduk dengan tenang di samping ranjang. Tangan halus itu sedang mengupas beberapa buah sambil menyuapi anak satu-satunya itu.

"Jangan ditekan begitu." Diana memperhatikan anaknya yang meringis dengan wajah cemberut.

"Kapan kita kembali, ma? Di sini membosankan."

"Kedepannya coba untuk menambah luka yang kau miliki, lebih lama berada di rumah sakit lebih baik lagi bagi kami." Ucapan sarkas itu datang dari pria paruh baya yang duduk di single sofa dekat jendela besar yang memperlihatkan pemandangan taman rumah sakit yang luas.

Pria itu adalah Robert Kalingga, ayah dari Briel. Di tangan Robert terdapat tablet dengan desain mewah. Orangtua itu sangat sibuk dengan pekerjaannya. Memenuhi segala tuntutan sebagai seorang suami sekaligus ayah. Namun, pria kecilnya, anak satu-satunya yang dia miliki punya banyak pikiran lain dalam benaknya. Ada saja hal-hal yang membuat dia harus menunda pekerjaan hanya untuk melihat kenakalan apa lagi yang diperbuat anaknya.

"Papa!" Briel mulai merengek.

Diana hanya tersenyum kalem, terlalu biasa menghadapi ayah-anak yang jarang akur ini.

"Berhenti menangis seperti anak kecil, tolong sadar umur," balas Robert acuh tak acuh kepada anaknya.

"Mama lihat papa!"

"Mamamu sudah puas melihat papa."

Briel memutar matanya dengan jengkel.

"Bukan seperti itu!" ucapnya dengan kesal.

"Bagaimana dengan mobilku?" tanyanya kemudian.

"Setelah membuat keributan pagi tadi, kau masih berani menanyakan mobil milikmu?" Robert tidak habis pikir, apa putranya tidak ingat apa yang terjadi padanya pagi hari tadi.

"Tentu saja! Aku baru saja mendapatnya semalam dari papa, bukan? Sekarang di mana mobilku itu?"

"Sudah papa buang. Tidak ada lagi mengendarai mobil sendirian."

"Papa!" Briel mulai rusuh kembali.

"Itukan hadiah ulangtahun Briel!" serunya tidak terima. Kemarin adalah hari ulangtahunnya yang ke‐18 tahun.

Ulangtahun Briel diadakan cukup meriah di sebuah hotel berbintang lima. Dan tentu saja Robert dan Diana melakukan yang terbaik untuk pesta putra tunggalnya. Briel begitu menyukai mengendarai sebuah mobil, meski angka kecelakaannya bisa dihitung dengan jari, tapi namanya anak tunggal yang selalu dituruti segala kemauannya, Robert dan Diana menghadiakan sebuah mobil mewah sesuai permintaan anak mereka.

Mereka tidak mengharapkan kabar buruk di pagi hari mengguncang keduanya.

"Papa berikan hadiah yang lain."

Briel menggeleng.

"No! Aku mau mobilku kembali!"

Robert juga menggeleng dengan tegas.

"Mulai sekarang semua mobil yang kau punya akan papa sita."

"Kenapa jadi semuanya?" Briel mulai kembali dengan keluhannya.

"Jika saja angka kecelakaan yang kau dapatkan tidak sebanyak ini. Papa mungkin akan memikirkannya kembali. Tapi yang kau lakukan  selalu melanggar perintah kami."

"Aku janji–"

"Tidak." Robert memotong ucapan anaknya itu.

"Papa sudah bosan mendengar janji yang selalu kau katakan."

Mendengar perkataan papanya, Briel beralih ke mamanya, memasang wajah tersedih yang dia miliki.

"Ma..." Diana menggeleng. Urusan seperti ini menjadi hak suaminya, anaknya yang susah diatur ini memang sudah seharusnya dihukum. Kecelakaan hari ini bukan pertama kalinya, Diana sering dibuat jantungan dengan kenakalan putra tunggalnya. Tidak satu, dua kali dia menangis melihat putranya terbaring di ranjang pesakitan. Kali ini sudah batasnya, Dia mengangguk setuju untuk usul suaminya.

"Dengarkan papamu, Briel."

"Oh, c'mon!"

"No, Briel! Sekali tidak tetap tidak."

"Tapi,"

"Nanti papa ganti dengan hadiah yang lain."

"Tidak mau." Briel membuang pandangannya, merajuk. Dia tidak mau menatap papanya.

Robert menghela nafas, cukup susah juga menghadapi putranya.

"Papa belikan apapun yang Briel mau, asal jangan mobil lagi."

Briel tetap diam.

Robert dan Diana saling pandang. Kalau sudah begini mereka hanya perlu waktu. Putra mereka  masih labil, emosinya masih naik turun. Sebentar lagi pasti dia sudah melupakan amarahnya.

Briel mendengus dengan wajah ingin menangis, terbiasa dimanjakan, membuat dia bertindak seenaknya. Salahnya juga, dia mengakui tapi masih tidak menerima hukumnya.

"Ayo buka mulutnya." Diana menyodorkan sebuah apel yang telah dikupas bersih serta dipotongnya dengan baik.

Meski ingin menangis, Briel tetap membuka mulutnya. Baginya apapun yang terjadi, makan tetap menjadi nomor satu. Makan adalah yang terpenting, mau seperti apapun suasana hatinya, Briel tetap akan membuka mulut jika disodorkan makanan.

Sambil mengunyah dengan hidung memerah, pandangan Briel bergulir ke arah TV besar yang menyala menampilkan sebuah berita terkini.

Berita tentang kedatangan Aktor ternama, Liam Greyson serta kemenangannya di negeri seberang.

"Liam Greyson," gumannya. Pandangan matanya menjadi tidak fokus.

"Kenapa sayang?" Diana bertanya kepada putranya, kemudian ikutan menoleh ke arah TV besar yang menyala, masih berita yang sama.

Bayangan di penglihatan Briel tumpang tindih. Bergerak cepat, dari kamar rumah sakit tempatnya kini berubah menjadi sebuah ruangan temaran kemudian sebuah gang sempit. Terus menerus tanpa jeda, berganti-ganti. Membuat Briel menggelengkan kepalanya.

Dia mengerjapkan matanya berulang kali, mencoba menghilangkan pandangan itu. Perlahan tangannya naik menyentuh perban di kepala. Menggigit bibirnya dengan gugup.

Dia teringat sesuatu. Seorang wanita muda, berusia sekitar pertengahan dua puluh, agak samar tapi Briel ingat wanita itu sedang berkelahi dengan seseorang, berusaha menahan orang itu yang terus memukuli wanita yang berteriak-teriak menghadapnya.

Gerakan bibirnya tidak terbaca dengan jelas, Briel menggeleng lagi dan menarik perhatian Diana.

"Kenapa sayang? Kepalamu sakit? Mama panggilkan dokter ya?"

Mendengar ucapan panik istirnya, Robert mendekati keduanya.

Wajah anaknya semakin pucat.

Istrinya menekan tombol di samping ranjang dengan cepat. Kemudian menenangkan Briel yang meringis memegangi perban di kepalanya.

Dokter masuk dan segera memeriksanya, Robert menenangkan istrinya yang hampir menangis.

TV besar itu masih menyala terang. Menayangkan kerumunan orang yang memadati bandara serta pria tampan bersetalan hitam dengan rambut merah gelap menjadi pusat dari kerumunan.

Mata coklat Briel berkilat sekejap.

Mimpi kah?


To be continued

Vee🌻

The Death Four [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang