Alura menatap Gion yang terus saja menunduk sedari tadi. Ia tahu persis rasanya kehilangan, sangat sakit. Bahkan lebih dari kata sakit.
Alura mendekati Gion, kemudian berjongkok menatap pemuda itu seraya mengelus pundaknya lembut.
"Nangis aja, lo juga manusia." ucap Alura.
Gion mengangkat pandangannya, kemudian menatap Alura sendu.
"Lo juga manusia, lo juga punya emosi, ga ada salahnya ngeluapin semua itu dengan menangis." ujar Alura lagi.
Gion bersandar di kursi kemudian menatap sendu langit-langit koridor rumah sakit.
"Gue kehilangan semuanya Ra.. Gue kehilangan bunda, gue kehilangan ayah, dan sekarang.. Gue juga kehilangan adek. Gue sendirian Ra.. Gue ga punya siapa-siapa." lirih Gion dengan suara bergetar menahan tangis.
Alura menggigit pipi bagian dalamnya guna menahan tangis, gadis itu beralih duduk di dekat Gion.
"Hei! Liat gue! Lo masih punya gue, ada Regina sama Fadil juga yang bakal selalu ada buat lo. Lo ga sendirian, masih ada kita bertiga." ucap Alura berusaha menenangkan pemuda itu.
Gion tersenyum kecut mendengar penuturan Alura.
"Kalian punya kehidupan masing-masing, gue ga mau ngerepotin kalian." gumam Gion yang masih bisa didengar oleh Alura.
Aluna terdiam. Ia tidak tahu harus merespons apa lagi.
Hening beberapa saat.
Keduanya tengah berkelana dengan pikiran masing-masing.
"Yon.." isak Regina saat menghampiri mereka, disusul Fadil di belakang gadis itu. Tangan Regina memegang boneka beruang menggemaskan yang sedikit kotor mungkin karena terjatuh.
Gion terdiam menatap boneka itu dengan pandangan kosong. Tangannya terulur menggapai boneka beruang milik adiknya, Viona.
"Dek.. Boneka lo ketinggalan.." lirih Gion menatap sendu boneka yang biasa dipeluk adiknya sebelum tidur.
Bahkan di boneka itu masih tersisa wangi milik adiknya. Bagaimana ia bisa melupakan adik manisnya, jika semua hal disekitarnya berhubungan dengan gadis itu?
Air mata Gion jatuh mengenai boneka tersebut. Pemuda itu memeluk erat boneka peninggalan adiknya penuh sayang.
Fadil mengalihkan pandangannya dari Gion. Ia tidak sanggup melihat penderitaan sahabatnya yang begitu menyakitkan.
"Viona gue.. Adek gue.." lirih yang dipenuhi air mata membuat mereka benar-benar tak sanggup mendengarnya.
Fadil mendekap erat sahabatnya.
"Udah Yon.. Udah.." gumam Fadil menatap ke atas, pemuda itu berusaha mati-matian menghalau air matanya.
Sementara Regina sudah nangis tak karuan di dalam pelukan Alura. Begitulah Regina, gadis yang paling tidak bisa melihat orang menangis, karena ia juga akan ikut menangis.
****
Hari ini adalah pemakaman Viona. Banyak anak-anak sekampus gadis itu yang datang, mereka turut merasakan duka yang mendalam karena kepergian gadis ceria dan baik itu.
Gion mengusap lembut nisan bertuliskan nama adiknya. Pemuda itu menaruh sebuah bunga mawar merah favorit adiknya di atas makamnya.
Seakan tahu bahwa ada kesedihan yang mendalam, langit pun turut menjatuhkan airnya ke bumi. Menghapus air mata dengan tetesan air, menyamarkan luka di dalam sanubari.
Alura menyodorkan payung ke atas Gion yang sedang duduk di dekat makam adiknya, menghalau air hujan yang hendak membasahi tubuh pemuda itu.
"Pulang, nanti lo sakit." ujar Alura.
Saat ini, hanya tinggal Gion, Alura, Regina, dan Fadil saja di pemakaman itu. Yang lain sudah pulang akibat hujan yang teramat deras.
"Kalian pulang aja dulu, gue masih mau nemenin Viona." sahut Gion dengan nada dingin.
"Lo gila hah! Ga liat hujannya makin deres? Kalo lo sakit siapa yang bakal ngerawat lo lagi? Viona udah ga ada yon! Seharusnya lo bisa jaga diri, biar Viona ga sedih ngeliat keadaan kakaknya di sini!" ujar Regina yang mulai tersulut emosi karena keras kepala pemuda itu.
"Ga usah bawa-bawa Viona. Kalo kalian mau pulang, pulang aja. Gue masih mau di sini, nemenin adek kesayangan gue." balas Gion sembari mengusap lembut nisan milik Viona.
"Na? Lo gapapa kan?" tanya Alura khawatir saat melihat wajah pucat Regina.
Fadil menatap Regina, kemudian melotot kaget. Sialan! Ia lupa kalau Regina tidak tahan dengan suhu dingin dan air hujan.
"Bawa Regina pulang! Gue ga mau ada yang mati lagi gara-gara gue." tegas Gion yang juga menatap Regina yang mulai lemas.
Fadil mengangguk sebagai jawaban, ia juga cemas melihat keadaan temannya itu.
"Ra! Titip Gion!" teriak Fadil kemudian ia membawa Regina pergi dari sana.
Alura dan Gion menatap satu sama lain selama beberapa detik, kemudian Gion memalingkan wajahnya kembali menatap nisan sang adik.
"Lo juga pulang." usir Gion.
"Fisik gue ga selemah itu."
"Gue ga peduli. Lo pulang sekarang!"
"Kalo gue ga mau?"
Gion berdiri menatap jengah Alura, pemuda itu mengambil alih payung hitam yang tengah dipegang oleh Alura, kemudian menerbangkannya mengikuti arah angin berhembus.
Alura tercengang melihat kelakuan Gion, karena pemuda itu, ia jadi basah kuyup sekarang.
Belum tersadar dari syok payung diterbangkan, kini pemuda itu malah menariknya paksa menuju mobil.
Tanpa disuruh, Alura masuk ke dalam mobil. Disusul Gion yang juga masuk, kemudian melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata.
****
Setelah Alura turun dari mobil, Gion segera melajukan mobilnya pergi dari sana. Gadis itu menatap kepergian Gion dengan pandangan rumit.
Tak ingin berlarut dalam pikirannya, Alura masuk ke dalam kostnya, kemudian membersihkan diri dan mulai beristirahat setelah hari yang melelahkan.
Sekarang masih pukul 15.35, itu artinya Alura masih punya waktu sekitar satu jam lebih untuk memulihkan tenaga sebelum kembali bekerja sore ini.
****
Thanks udah baca, see you next time🤍.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet but psycho (Alura Tamara)
Детектив / Триллер"Alura mana?!" "Ikut gue! Tadi dia lari ke arah sana!" Sementara Alura, ia terus berlari mengejar mereka. Saat ia mengarahkan senternya tepat di tempat mereka berada, Alura dapat melihat dengan jelas, bahwa di sana, didekat pohon yang menjulang t...