V. Terlanjur Sayang

48 2 0
                                    

Matahari menyinari pagiku hari ini, pagi ini adalah pagi yang tentram, damai, dan sejuk, ini adalah salah satu keajaiban langka yang jarang terjadi di Surabaya, sebuah kota di Jawa Timur yang selalu dihujani oleh teriknya Matahari. Mungkin kalau aku memutuskan untuk menghabiskan waktuku di Jakarta, aku akan tidur sepanjang hari ini, tapi karena sekarang aku di Surabaya, pasti bude akan bersungut-sungut kepadaku.

Semoga, hari ini berjalan dengan lancar, mengingat kemarin aku menghabiskan waktuku penuh dengan bahagia, aku ingin beberapa minggu di Surabaya menjadi hari yang lebih membahagiakan, amen.

***

"Tha, bude ke rumah bu Siti sebentar," ujar bude kepadaku.

"Karena kang Ujang lagi pulang kampung, gak ada motor, jadi kalau kamu mau pergi chat mas Angga ya." tambah bude menjelaskan, tapi jujur hari ini aku sangat malas untuk berpergian, rasanya ini adalah jackpot keberuntungan untukku yang ingin berleha-leha dikasur seharian.

"Iya bude, nanti Thami kabari kalau mau keluar. Bude naik apa ke rumah bu Siti?" tanyaku kepada bude.

"Bude jalan kaki nduk, cuacanya juga cukup baik pagi ini. Sekalian bude mau ke Kenjeran beli ikan." jawab bude menerangkan, aku hanya mengganguk saja.

"Satu lagi, dokter kamu sudah beberapakali kirim pesan sejak kamu tiba di Surabaya. Nduk, bude tau kamu sehat, tapi harap kamu mau kembali konsultasi tentang kesehatan mental kamu.

Ini bukan cuman buat kamu, tapi buat masa depan kamu juga." terang bude, aku tau kalau topik ini akan sering dibahas saat aku memutuskan untuk menetap disurabaya beberapa hari ini, jujur aku masih takut, sangat takut.

" terang bude, aku tau kalau topik ini akan sering dibahas saat aku memutuskan untuk menetap disurabaya beberapa hari ini, jujur aku masih takut, sangat takut

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hatiku yang keberatan mas...

***


Tin.. Tin...

Klakson mobil berbunyi di depan rumahku, saat aku mendengarnya tentu suara itu sangat familiar, entah aku harus senang atau sedih sekarang, karena mobil itu sudah memiliki dua orang didalamnya.

Klik...

"Maaf ya tha kalau saya telat" ujar mas Angga, tentu yang bisaku lakukan hanyalah tersenyum, lalu duduk di kursi penumpang dari mobil tersebut.

"Oh iya kenalin, ini Gendhis calon tunangan saya." ucap mas Angga kepadaku, baru kali ini aku melihat senyum yang sangat hangat, tapi bukan untukku. Aku bingung harus menjawab apa, jadi yang bisaku lakukan hanyalah mengangguk kecil.

Selama perjalanan berlangsung, hanya radio yang menemani perjalanan kami, tidak ada percakapan yang dilakukan kami bertiga, namun bukan hanya itu, bahkan dua insan yang ada di depanku tidak membuka pembicaraan, padahal mereka sebentar lagi akan menjadi suami istri.

***

Perjalanan 26 menit ku tempuh dengan keheningan dan alunan musik klasik Canon in D Major, karya Johann Pachelbel. Aku menyukai banyak lagu klasik, tak bisa ku pungkiri bahwa taste musik yang dimiliki mas Angga cukup bagus.

"Mas disini aja ya," tuturku kepada mas Angga, tentunya mas Angga hanya tersenyum patuh. 

"Jangan mas kasihan, biar aku temani aja." pinta Gendhis, sandingan mas Angga yang baru kali ini membuka suaranya.

"Tidak usah mbak, aku sendiri cuman mau kontrol aja kok." tolakku dengan ramah, aku yakin maksud dari mbak Gendhis baik, tapi aku tidak mau ia meninggalkan mas Angga hanya untukku. Kalau itu aku tentu, aku pasti  tidak mau meninggalkannya.

"Biar aku temani Tha, aku gak keberatan kok." tegas Gendhis sedikit memaksa membuatku sedikit bergidik mendengarnya, maka yang bisa aku lakukan hanyalah mengiyakan permintaannya.

***

"Terima kasih ya mbak, maaf tadi lama aku didalam" Ujarku saat keluar dari ruang praktik konseling rumah sakit.

"Tenang Tha, gak apa-apa kok.

Kalau gitu mau makan dulu gak sebelum pulang, aku sering kesini biasanya makan di restoran Arumanis." ajak mbak Gendhis kepadaku, tentu aku akan mengiyakan ajakannya, karena perutku sudah keroncongan mendengar penjelasan sang dokter.

Jujur selama praktikum konseling berlangsung, aku tidak merasa takut sama sekali. Mungkin hanya sesekali meringis namun ternyata ketakutanku terhadap cinta sudah tidak terlalu besar. Hanya, aku takut apabila harus merasakan cinta namun dijatuhkan dengan realita,

kapan ya marcapada mau memberikan takdir baik bagiku?

Marcapada (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang