35. Satu Hari Setelahnya

179 30 5
                                    

Duke Edmont terlihat tidak terima. Namun belum sempat berbicara, aku sudah beralih menatapnya. Tajam, seolah akan menguliti dirinya.

Brak!

Tiba-tiba pintu didobrak. Rafael dan Pashenka masuk ke dalam diikuti sepuluh pria berbadan besar. Saat dua orang itu mendekatiku, sisanya bergerak mengelilingi Duke, Duchess, dan Joana.

Mereka ditawan. Masing-masing sandera ditangani oleh tiga orang. Aku bersyukur di dalam hati, Duke Edmont tidak memegang senjata. Meskipun mahir berkelahi, ia tak bisa apa-apa karena kepala istrinya berada di ujung tiga pedang.

Seketika lututku lemas. Tubuhku sadar sudah tak perlu lagi berpura-pura tegar. Ternyata aku sudah kelelahan. Namun amarah serta keinginan untuk bertahan memaksa otak meyakinkan tubuh bahwa diriku masih sanggup melawan. Nyatanya, saat melihat dua orang itu, letih itu langsung terasa.

Pashenka berlutut di hadapanku, diikuti oleh Rafael. Mereka meletakkan tangan di dada layaknya seorang ksatria.

"Kita berhasil menembus gerbang, Nona."

Mataku berkaca-kaca. "Ya."

Mereka berhasil, tapi aku tidak. Tekad menghabisi Dariel dengan tanganku sendiri tak terwujud. Hati ini tak sanggup. Sungguh, memaksakan diri pun rasanya sia-sia.

"Giselle!" Tiba-tiba Dariel berlutut.

Pashenka menarik pedang dan mengacungkan ke depan. Ia melindungiku dari Dariel.

"Dariel, jangan!" pekik Joana.

"Aku bersalah. Aku bodoh, selama ini aku telah mengambil kebahagiaanmu, tapi tolong izinkan aku menjelaskan semuanya," pinta Dariel.

Aku menyunggingkan senyum lemah. "Apa kau tahu, Dariel? Aku sangat ingin membunuhmu dengan kedua tanganku sendiri. Kau telah mengambil nyawa kedua orang tuaku, kau juga telah mempermainkan diriku dalam pernikahan ini. Kau memang harus menjelaskan semuanya, setidaknya sebelum aku memilih menguburmu dalam-dalam di ingatanku."

"Maaf, Giselle. Maafkan aku."

Pipi Dariel basah oleh air mata. Melihatnya menangis aku pun tak kuasa menahan diri. Sakit sekali melihat kami harus berkumpul pada situasi seperti ini. Bukan sebagai keluarga, tapi musuh yang tak bisa bersama.

Posisiku masih di lantai, ditemani Pashenka dan Rafael. Keduanya bergantian memintaku berdiri. Akan tetapi, aku sudah terlalu letih. Kedua kakiku tak sanggup lagi menopang tubuh.

Tiba-tiba saja aku merasa pitam. Tidak, aku tidak boleh tumbang sebelum menyelesaikan masalah ini. Namun pikiranku mulai kalut. Hati perih bak tengah diiris-iris kemelut. Tepat saat tubuhku limbung, seseorang menahannya.

"Nyonya Audite," gumamku di sela-sela napas yang sesak.

"Aku di sini, Nak. Aku di sini, Sayang. Maaf, terlambat menghampirimu," ucapnya sambil menangis.

"Aku lelah sekali. Mereka mengambil segalanya dariku."

"Aku tahu. Tolong, berhentilah berbicara, kau lemah dan sangat pucat."

Betapa menyedihkan saat tahu yang menghampiriku adalah orang luar. Bukan keluarga, bukan pula Dariel. Padahal aku sudah hancur karena mereka. Tak sedikitpun rasa bersalah itu muncul.

"Dewi Aphrodite, kumohon bantu aku. Bantu aku dengan segenap yang kau bisa. Kumohon tepati janjimu pada orang yang kau panggil anak," bisikku saat mataku mulai berat.

Air mataku menetes begitu deras. Seribu penyesalan berkecamuk di dalam dada. Meskipun ingin, aku tetap tak bisa membunuh Dariel. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah memanggil Dewi Aphrodite. Berulang kali, terus bergema di dalam hati. Berharap ia menepati janji.

Me And My Bad Husband [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang