Nyonya Audite buru-buru menjawab, "Tuan ini meminjamkan kereta kudanya untuk kita. Kalau tidak, saya pasti kesulitan membawa Nona."
"Ah, ya. Terima kasih atas bantuanmu. Tapi apa benar mereka tidak akan dihukum?" Aku memastikan pendengaranku barusan tidak salah.
"Jika mereka pandai berbicara untuk menjelaskan alasan pemberontakan, kurasa mereka akan baik-baik saja. Paling cepat, besok sudah kembali ke hadapan Anda," jelas pria itu.
"Kuharap demikian. Aku akan merasa bersalah sekali jika mereka dihukum." Kepalaku tertunduk sambil mengepalkan kedua tangan.
Memikirkan Fred, Rafael, dan yang lain harus mendekam di penjara yang dingin sangat menyakitkan. Mereka hanya ingin menuntut keadilan setelah puluhan tahun dibiarkan hidup prihatin di pinggiran. Tak adil jika karena itu, istana memberikan hukuman.
Nyonya Audite bangkit. "Sebaiknya, Anda berdua berkenalan dengan benar. Saya akan menyiapkan cemilan. Mengingat hari sudah sore, sepertinya Anda juga lapar."
Benar juga, aku pingsan cukup lama. Perutku belum diisi sama sekali.
"Terima kasih atas kebaikan hati Anda, Nyonya Audite," ujarku sambil mengulas senyum tipis.
"Tidak perlu berterima kasih, Nak." Wanita itu melenggang keluar meninggalkan kami berdua.
Aku turun dari tempat tidur, mengajak pria itu berbincang di luar. Melihat air sungai yang mengalir dan burung-burung beterbangan di pepohonan rindang akan memberikan sedikit ketenangan.
Sejujurnya, aku ingin segera pergi menghampiri Rafael dan yang lain. Namun bertindak gegabah akan memperparah pandangan negatif istana. Meski pria ini berkata itu hanya formalitas, tetap saja aku khawatir. Manusia tak bisa dipercaya sepenuhnya.
Di pohon besar menghadap sungai, aku duduk bersandar di batangnya. Kedua kaki kuluruskan. Sementara pria itu berdiri di dekat batu-batu kecil. Matanya menatap air sungai yang mengalir.
"Nama saya Hans Konnings. Anda pasti Giselle Edmont. Ah, haruskah saya menyebut nama keluarga Anda saja? Albern?"
"Yah, itu terdengar lebih baik. Toh, saya tidak pernah dianggap oleh keluarga Edmont."
"Bodoh sekali mereka menyia-nyiakan Anda."
Kupikir juga begitu. Membuang diriku yang sanggup melakukan apa saja untuk orang yang memberiku cinta demi seorang Joana. Kalau boleh berbangga diri, aku berasal dari keluarga kaya dan pintar. Parasku juga cantik. Namun Dariel buta.
Benar kata orang. Menjadi idaman laki-laki tidak perlu sempurna dan bermartabat. Cukup menjadi perempuan tak tahu malu saja, itu sudah lebih dari cukup.
"Anda sangat pemberani," puji Hans tiba-tiba.
Kuulas senyum kecil walaupun dia tidak melihatnya. "Kelihatannya begitu, tapi sebenarnya hari-hariku dipenuhi rasa takut."
"Takut tentang apa?" Ia menoleh ke arahku.
Pandanganku menerawang ke langit bersih yang tengah disinari cahaya matahari sore. Aku herharap menemukan setitik ketenangan dari sana.
"Banyak, salah satunya aku selalu takut mengetahui kabar orang tuaku. Setiap hari aku bertanya-tanya. Apa mereka masih hidup? Atau sudah meninggal? Di mana mereka sekarang? Apa mereka baik-baik saja? Lalu saat tahu bahwa Dariel telah membunuh mereka, rasanya aku nyaris gila," ceritaku tanpa menutup-nutupi semuanya.
"Anda hebat masih bisa berdiri setelah melalui semua penderitaan ini."
"Tak ada yang bisa kulakukan, Hans. Segalanya mendorongku untuk terus terjatuh ke dalam jurang yang menyakitkan. Selain bertahan, apa lagi yang harus kulakukan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Me And My Bad Husband [On Going]
FantasySetelah mati tenggelam, aku terbangun di tubuh seorang wanita lemah lembut bernama Giselle Albern. Wanita yang hidupnya dihabiskan dalam kebodohan karena menuruti apa kata suaminya yang kejam, Dariel Edmont, putra pertama Duke Jarrod Edmont. Apakah...