Akhirnya ia pun sampai di rumah dinasnya, Runi mengambil semua surat Panji yang masih ada di kotak surat. Semua surat tidak, rongsokan dari Panji dimasukkan ke tungku api untuk memasak air.
Nampak di wajahnya tak ada rasa galau atau penyesalan atas ucapan dari Panji, malah dia lebih bahagia karena dia bisa mencintai dirinya sendiri tanpa memperdulikan orang lain mau mencintainya atau tidak.
“Nona, apa kau baik-baik saja?” tanya Fredy (Manto), Runi hanya menoleh sekilas ke arah pria di belakangnya sedangkan tangannya bermain buka-tutup dengan Zippo miliknya.
“Nama Jawa anda Manto Van Anaphalis, sedangkan nama Belandanya Fredy Van Anaphalis. Pernah menyamar jadi Tentara Keamanan Rakyat tahun 1946. Jabatan Kapten di NICA, benar begitu?” ujar Runi sambil berjalan memutari Manto, tatapannya mengintimidasi pria keturunan Jawa-Belanda itu.
Disini Fredy akan diganti Manto sampai beberapa chapter.
Suara dentingan tutup Zippo yang dimainkan seperti menambah kesan gugup di dapur rumahnya. Namun tampaknya wajah Manto terlihat tenang-tenang saja saat Runi dengan terang-terangan mengungkapkan identitasnya.
“Kau ini bicara apa, Nona? Itu semua tidak benar,” jawab Manto dengan santai. Nampaknya dia tak mau mengakui identitas keduanya itu, tapi bukan Runi namanya kalau tak gencar dalam menjatuhkan musuh.
Zippo itu ditekan hingga mengeluarkan api lalu mendekatkan benda itu ke wajah Manto, “anda memang pintar dalam menyembunyikan identitas asli anda, tapi patut diingat bahwa Runi Shelvian tidak bisa dibodohi.”
Disaat seperti itu malah terdengar ada suara ribut bapak-bapak yang sedang membawa berbagai senjata seperti arit, cangkul, dan bambu. Hal itu membuat Runi mendorong Manto ke semak-semak sebelum orang-orang dari Masa Bersiap itu datang.
“Mbak Runi tadi bertemu Londo tidak?” tanya seorang pemuda yang ikut dalam rombongan itu. Tampaknya sekali wajah mereka sangat bengis karena ambisi ingin menghabisi para keturunan Belanda yang masih tersisa di tanah air ini.
“Kesana tadi Pak, dia bahkan nyuruh Mbah…maksudnya seorang pemuda sekitar umur 17 tahun untuk memanggul senapannya,” jelas Runi.
Mereka ini ikut dalam ‘Masa Bersiap’ untuk memberantas orang-orang Eropa dan keturunannya di Indonesia, makannya di masa depan Indonesia tidak ada kata-kata yang diserap dari bahasa Belanda, kalaupun ada mungkin orang-orang tua dulu yang bisa berbahasa Belanda karena dulunya berpendidikan tinggi.
Matanya sedikit melirik ke arah belakang tepatnya dimana Manto tadi ia dorong ke tanaman teh-tehan itu, walau dirinya benci dengan para Belanda itu tapi Runi tak ada niatan untuk menyerahkan Kapten NICA itu.
“Kalau Mbak lihat Londo lagi, beritahu kita secepatnya,” ucap pemuda itu. Entah kenapa hati Runi tak tega menyerahkan Manto kepada mereka, karena dia tahu kalau akhir dari orang-orang Eropa ini adalah disiksa habis-habisan hingga menemui ajalnya.
“Baik, Mas. Semoga cepat ketemu ya Mas.” Pemuda itu mengangguk lalu mengajak semua warga untuk melanjutkan perjalanan, gadis itu langsung menghela napas lega.
Saat dirinya berbalik badan malah tak sengaja menabrak tubuh Manto yang berdiri tepat di belakangnya, “ngapain sih anda mepet-mepet gini, dada bidang tuan tu kokoh banget karena isinya otot semua, ya walau kelihatannya nyaman buat nyenderin kepala gitu, eh gak gitu maksud saya. Sudah lupakan saja.”
Kalau lagi kesel itu gak usah sambil muji segala, kelihatan banget ingin bersandar ke pelukan Manto. Pria itu mengambil beberapa langkah mundur untuk menuruti ucapan Runi.
"Mengapa kau tidak menyerahkan saya kepada mereka? Bukankah kau benci sekali kepada orang-orang Belanda seperti saya, jadi serahkan saja saya kepada mereka agar darah pendosa seperti saya tidak mengotori tanganmu,” ujar Manto.
Sebenci-bencinya Runi terhadap ini tapi dia tak pernah ada pikiran untuk menyerahkan Manto kepada orang-orang dari ‘Masa Bersiap, kalau pun dia membunuh mereka itu sama saja dengan orang-orang itu.
Senyum remeh terlihat di bibir Runi, “untuk apa saYa membiarkan Kapten Fredy (Manto) ini mati dengan mudah. Toh suatu saat anda akan mati dengan sendirinya, tanpa perlu mengotori tangan saya,” jelas Runi.
Suara adzan zuhur mulai berkumandang dari surau dekat rumah dinasnya, sebaiknya dirinya masuk kerumah karena tak ingin dapat kesialan jika terus diluar, menurut mitos yang beredar di daerahnya.
Dia pun bergegas masuk ke rumah tapi Runi melupakan sesuatu. Gadis itu memutar matanya malas, bisa-bisanya pria bertubuh tinggi besar bagai genderuwo di siang bolong itu masih berdiri tegak dibawa terik matahari.
Kakinya berjalan mendekat dengan sedikit dihentak-hentakkan ke tanah, Runi benar-benar tak habis pikir dengan bapaknya si Dwi itu.
“Astaghfirullah ni orang.”
“Kenapa?” tanya Manto dengan wajah bingungnya, tiba-tiba saja tangannya ditarik oleh tangan kecil Runi.
“Tuan ngerasa gak panas apa? Bisa-bisa ketiban sial anda kalau terus diluar pas waktu Zuhur. Cepat masuk,” perintah Runk. Walau dengan perasaan dongkol begitu, hati nuraninya terus saja membujuk Runi agar berbelas kasihan kepada kapten NICA itu.
Setibanya di dalam rumah dinas Runi, Manto dipaksa duduk oleh si tuan rumah yang nampak masih tak suka dengan dirinya.
“Yang nyaman-nyaman aja disini, tapi jangan anggap rumah sendiri, ini rumah saya, ngerti kan!” bentak Runi. Sebelum salat, gadis itu menyajikan kudapan dan minuman untuk Manto yang merupakan tamu di rumahnya.
“Noh anda makan dan minum, saya tinggal salat dulu! Jangan pergi sebelum yang di atas meja habis. Kalau anda tidak ada setelah saya habis salat, bakal saya uber tuan karena saya itu sukanya ngejar bukan dikejar, oke,” jelas Runi.
Mendengar ucapan gadis itu, Manto pun mengangguk paham. Bagaimana bisa Runi melayani tamu seperti sedang memandori pekerja rodi.
Seperginya Runi, Manto mulai mencicipi setiap camilan yang sudah disajikan. Giliran disuapan kedua dirinya baru ingat kalau tujuannya pergi kesini adalah mencari adik angkatnya yaitu Achmad.
“Astaga aku melupakan, Achmad.” Camilan yang ditangannya tadi dia letakkan kembali ke toples kaca lalu pergi begitu saja.
“Kalau sudah habis semua, sekarang bapak pulang saja ke Semarang. Saha gak mau lihat wajah tampan, kulit tan, tubuh kekar, sempai dan hidung mancung Tuan disini. Nanti saya yang ngasih ongkos pulangnya.” oceh Runi sejak keluar dari kamarnya.
Matanya melotot kala melihat ruang tamu yang kosong tak ada Manto, jelas sekali kalau tamunya kabur dan meninggalkan semua yang telah disajikan olehnya.
“Awas aja anda, Tuan Fredy (Manto)!!!” Teriak Runi.
•
•
•
•
•
-Bersambung-
![](https://img.wattpad.com/cover/267199726-288-k300921.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Behind Hazel Eyes [END]
Fiksi SejarahFIKSI SEJARAH 1. {Behind Hazel Eyes} 📍Pasca Kemerdekaan - Agresi Militer Belanda II Historical || Advanture || Romance Demi bisa mendapatkan pekerjaan, Runi rela melakukan perjalanan waktu ke Pasca Kemerdekaan 1945 hingga Agresi Militer Belanda II...