1

46.1K 1.5K 10
                                        

Cahaya putih dari langit-langit menerobos kelopak matanya yang berat. Seorang gadis perlahan membuka matanya, mendapati dirinya terbaring di sebuah ruangan asing. Aroma antiseptik menyergap hidungnya.

"Gue selamat?" gumamnya lirih.

"Mungkin Tuhan masih izinin gue buat hidup... dosa gue masih banyak."

Ia bangkit perlahan, memegangi kepalanya yang terasa nyeri. Saat matanya menyapu sekitar, ia melihat dirinya masih berseragam sekolah. Ragu, ia bangkit berdiri. Pandangannya tertumbuk pada sebuah novel di meja.

"Sang Antagonis"—judul yang sangat dikenalnya.

"Ini... novel yang tadi gue baca?" tangannya gemetar saat meraih buku itu. Dengan langkah limbung, ia keluar dari UKS.

"Kalau ini mimpi, kenapa sakitnya nyata?" desisnya, sambil mengusap kening.

Saat berjalan di koridor, ia merasakan tatapan aneh dari siswa-siswi yang berpapasan. Tatapan takut. Bahkan beberapa tampak menghindar darinya.

"Ngapain lo liatin gue kayak gitu?" tanyanya datar, namun membuat sekelompok siswa tersentak dan segera menunduk.

Dia terdiam. "Cassandra Meycita... primadona sekolah... ya wajar kalau diliatin," ucapnya mencoba menghibur diri.

Namun hatinya mencelos saat melihat wajah-wajah asing. Tak satu pun yang dikenalnya. Dan novel itu... mengapa judulnya terasa semakin relevan?

"Shiren?" panggil seseorang di belakangnya.

Ia tak menggubris. Panggilan itu tidak familiar.

"Shiren, gue panggil-panggil nggak nyaut," seorang gadis menepuk pundaknya. Wajahnya cerah tapi sikapnya... aneh.

"Shiren?" gadis itu memanggil lagi.

Deg.

Cassandra terdiam. 'Shiren?'

"Kalau lo mau bully dia, ajak-ajak kita dong. Gue sama Melda juga pengen bantuin," ucap gadis lain, Gisa.

Kata-kata itu membuat darah Cassandra berdesir dingin. Nama-nama, situasi... semua mulai terasa akrab.

Shiren... Gisa... Melda... ini semua tokoh dalam novel!’ pikirnya. Tangan kirinya mengepal, kepalanya kembali nyeri.

"Shiren, lo masih sakit. Balik ke UKS aja yuk," ajak Melda.

"Jangan sentuh gue! Gue nggak kenal kalian!" bentaknya panik. Ia menjauh, membuat kedua gadis itu terpana.

"Shiren, lo amnesia?" tanya Gisa, masih berusaha ramah.

“Gue... nggak mungkin... gue bertransmigrasi? Ke tubuh Shiren?!” desisnya, menepuk pipinya sendiri.

“Bangun Cassandra… ini mimpi kan…”

Brukk!

Tubuhnya bertabrakan dengan seorang pria.

"Lo bisa nggak sih liat-liat kalau jalan?!" semprot pria itu, kesal.

"Lo juga bego, jalan liat ke depan napa," balas Cassandra sengit.

"Jendra, lo gapapa?" tanya teman pria itu.

Nama itu... Jendra. Cassandra merasa dadanya sesak. Nama-nama dari novel itu nyata, dan kini mengelilinginya.

"Udah, Jen. Kita ga usah berurusan sama Queen Bully ini," kata Marchel. Suaranya sinis.

"Apa lo bilang?" matanya menyala. "Queen Bully?!"

"Ngaca, Ren. Bukannya tiap hari lo bikin orang trauma?" tambah Rian.

"Stress, gila, marah-marah ga jelas. Itu lo," kata Ten.

"Gue bukan dia! Gue bukan Shiren!" bentaknya, nyaris menangis karena frustrasi.

"Kita nggak butuh bukti. Semua anak sekolah ini saksi," jawab Marchel tenang, dingin.

Cassandra merasa seperti terseret ke pusaran hidup orang lain. Semua orang menganggapnya sebagai sosok yang kejam, antagonis, pembully. Padahal dia... bukan itu. Dia Cassandra!

“Gue ga pernah nyakitin siapa pun! Kalian salah orang!”

"Shiren!" panggil Melda dan Gisa, menghampiri, namun Cassandra menepis tangan mereka.

"LEPASIN GUE! GUE BUKAN SHIREN!"

"Emang gila," gumam Marchel.

Cassandra menatap tajam. "Ulangin, gue tantang lo ngomong lebih keras."

"Lo. Gila."

Plak!

Tamparan keras melayang ke wajah Marchel. Semua terdiam.

“Sekali lagi lo sebut gue gila, gue robek mulut lo. Inget itu!” katanya tajam.

“Udah, bawa dia pergi sana!” kata Ten pada Melda dan Gisa.

Cassandra menatap kelima cowok itu satu-satu, lalu menunjuk mereka.

"Denger ya, gue janji... suatu hari nanti, kalian bakal ngemis minta maaf. Kalian bakal tunduk, minta jadi temen gue, bahkan... mungkin kalian bakal jatuh cinta sama gue!"

Rian tertawa pendek. "Ngimpi."

“Gue serius. Dan kalian akan lihat, siapa Cassandra Meycita yang sebenarnya. Bukan si Shiren yang kalian pikirin.”

Ia membalikkan badan, melangkah pergi. Tapi satu tatapan menahannya. Tatapan dingin, namun tajam dan berbeda dari yang lain—milik Jendra.

Kenapa tatapan dia beda?’ batinnya, bingung.










*
*
*
*
*

 Istri Untuk Anak Manja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang