1

766 66 1
                                    

Pukul 3 dini hari, Jisoo menguap lebar dan bangun dari tidur singkatnya setelah satu jam terlelap. Seperti hari-hari sebelumnya, ia dibuat sibuk untuk mengerjakan skripsi yang menguras sebagian besar waktu istirahatnya. Wanita itu masih sibuk mengerjap-ngerjap matanya pelan sembari meraba ke sekitar kasur yang dipenuhi buku-buku dan kertas. Mencari sesuatu yang kini berbunyi nyaring di antara tumpukan buku-buku miliknya.

Ketemu. Itu tablet Mac book yang dibelikan Ayah bertahun-tahun lalu sebagai hadiah diterimanya Jisoo di fakultas kedokteran.

Ada nama Jackson yang kini tertera di layar. Jisoo dengan cepat menggeser logo hijau untuk menerima panggilan video. Seperti biasa, hal pertama yang Jisoo dengar adalah suara tawa dari sebrang sana yang mungkin saja disebabkan karena wajah berantakannya yang memenuhi layar ponsel Jackson.

Mereka berdua selalu berkomunikasi lewat panggilan telepon karena jarak yang membentang begitu jauh. Kakak tirinya itu sudah bertahun-tahun memilih pergi merantau ke Hongkong dan tidak pernah pulang ke Indonesia meskipun saat natal tiba, alhasil Bunda dan Ayah yang harus terbang ke sana untuk menemui anak sulung mereka. Tapi Jisoo cukup bersyukur, karena lebih dari apapun, Jackson justru lebih sering meneleponnya ketimbang menelepon Ayah dan Bunda. Sedangkan jika mereka ingin bertemu, keduanya akan memilih bertemu di salah satu negara dan menghabiskan liburan bersama.

Jackson Pramudya adalah abang yang baik. Untuk beberapa waktu, laki-laki itu akan sering menelepon tengah malam untuk menemani Jisoo begadang dalam menyelesaikan tugasnya. Tak urung, Jackson menjadi saksi bisu tentang bagaimana jungkir balik usaha Jisoo dari jaman MABA dulu sampai hari ini ia hampir diangkat menjadi dokter muda. Jackson juga selalu bertanya apakah dia makan dengar benar atau tidak, tidur cukup atau tidak, dan jangan lupakan juga tentang kultum ala-ala pemuka agama supaya Jisoo menjauhi maksiat dan bergaul dengan golongan orang berbudi luhur di menit-menit terakhir panggilan video mereka.

Jisoo kadang merasa diawasi diam-diam karena entah bagaimana caranya Jackson selalu tau ajakan sesat apa yang teman-teman kuliahnya coba ajarkan padanya, entah itu menyuruhnya merokok atau minum-minum di klub malam.

"Kamar lo udah kayak kapal pecah gitu." Jackson mencibir sebab kamar adik tirinya itu betulan tak berbentuk. Seprai kasur acak-acakan, bantal guling yang malah berada di bawah, sementara di atas ranjang malah hanya berisi buku-buku yang hanya Jisoo saja yang tau apa saja judulnya.

"Biarin, nanti juga ada yang bersihin." Jisoo menjawab santai. Itu fakta, karena akan selalu ada Rose yang datang ke apartemennya setiap hari. Selain untuk numpang makan, perempuan itu juga datang untuk melakukan pekerjaan rumah tangga seperti membersihkan tempat tidur, menyapu, mengepel, sampai memungut baju kotornya dan memasukkan ke mesin cuci. Jisoo sering mengucap syukur karena sejak ia lahir selalu saja ada seseorang yang membantunya mengurus diri.

Bunda.

Bona.

Dan, kini Rose.

Dulunya, Jackson menyangka kalau hubungan Rose dan Jisoo hanya sebatas teman SMA dan akan berakhir saat kelulusan. Karena setiap keduanya bertemu tanpa sengaja, mereka hanya akan mencibir dengan nada sinis satu sama lain. Tapi nggak taunya, hubungan mereka malah jadi sedekat ini dari tahun ke tahun.

"Di rumahnya sendiri jadi ratu. Kok di apartemen lo malah jadi babu?"

"Mungkin dia udah bosen hidup enak. Biasa, orang kaya gabut." Jisoo mengedikkan bahu tak peduli.

Jackson kembali terkekeh. "Mungkin itu tanda bukti kalau dia sebenarnya peduli dan sayang sama, lo. Gue restuin kalau ternyata dia yang jadi adik ipar gue."

Tiba-tiba saja Jisoo melotot. "Gue nggak butuh restu lo buat nikah sama siapapun. Dan gue juga nggak suka sama Rose."

"Kenapa?"

"Lo tau sendiri kan, Bang? Masa harus gue jelasin." Di sebrang sana Jackson mengangguk ringan. Cerita semasa SMA yang sampai sekarang tak selesai itu membayang di pikirannya.

Ini bukan pertama kalinya. Ada banyak orang yang menyimpulkan dengan mudah kalau Rose dan Jisoo memang menjalani sebuah komitmen. Tapi nyatanya tidak seperti itu. Mereka hanya sebatas teman dekat. Itu saja. Pertemanan mereka murni.

Satu yang membuat hubungan mereka terlihat dekat, karena baik Jisoo maupun Rose sama-sama bernasib kurang mujur dalam urusan asmara. Jadi ya sudahlah, selain nggibahin orang-orang belangksak di luar sana, mereka juga sering menghabiskan waktu untuk curhat perihal cinta.

Hening sejenak, Jisoo memilih berdiri dan mengedarkan pandangannya mencari buku fisiologi miliknya yang tertimbun di antara banyaknya buku-buku lain. Tak lupa juga mengisi kesenyapan malam dengan memutar lagu ballad dari ponselnya.

"Di dunia ini apa sih yang mudah?" Jisoo mendecak, dan tiba-tiba saja bertanya random yang justru malah membuat Jackson tertawa. Biasa, pertanyaan seperti ini selalu muncul saat dia merasa pusing dikejar deadline tugas kuliah. Sebab Jisoo tau betul kalau kuliah memang tidak semudah itu. Dan pertanyaan itu hanya akan terus-menerus menjadi pertanyaan sebab Jackson tak pernah sekalipun menjawabnya.

"Kalau lo nggak punya jawabannya nggak usah dipi...." Ucapannya terpotong karena jawaban Jackson yang begitu spontan dan tiba-tiba.

"Jatuh cinta." Jackson menjawab pendek. Laki-laki yang kini hanya bisa ia tatap dari layar tablet itu mengulas senyum lebar. Di sisi lain, Jisoo malah terdiam dengan kening berkerut.

"Benar kan jawaban gue. Manusia bahkan cuma butuh lima detik untuk jatuh cinta. Gue nggak tau lo pernah ngerasain yang kayak gitu apa nggak. Tapi yang jelas, gue pernah. Sebegitu mudahnya manusia menjatuhkan perasaannya." Jackson menyunggingkan senyum dengan raut meremehkan. Bukan meremehkan siapapun, sebab kali ini ia meremehkan dirinya sendiri.

Perasaan kadang memang semurah itu, kan?

Beberapa detik kemudian, Jisoo hanya diam mematung saat tablet di depannya memburam karena koneksi buruk dan keluar dari panggilan video. Jackson juga terlihat pasrah-pasrah saja dan membiarkan panggilan video berakhir dengan sendirinya. Obrolan malam ini akhirnya terputus tanpa kultum lima menit dari Jackson. Jisoo juga tak berniat sama sekali untuk menyambungkan ulang. Dirinya malah dibuat sibuk dengan otak randomnya yang mencerna perkataan Jackson barusan.

Di antara lirik lagu yang mengudara itu, Jisoo memilih duduk di kursi belajarnya setelah menyibak gorden warna putih gading yang menutup jendela, yang menjadikan angin bisa dengan bebas masuk membawa hawa dingin yang menusuk sampai tulang.

Jisoo sudah bosan dengan ilmu kedokteran, segala kurikulumnya, dan segala teori dan prakteknya yang begitu rumit. Kali ini ia ingin terlibat pada sesuatu yang mudah dan sederhana.

Jadi untuk jatuh cinta lagi, apakah memang semudah itu?

Semakin larut, angin yang berhembus dingin itu dengan mudahnya membuat Jisoo terlelap. Setelah sebelumnya memikirkan satu wajah yang selama ini membuatnya uring-uringan.

Wajah seseorang yang meninggalkan Jisoo dengan tampangnya yang kelihatannya bahagia. Sebab, Jisoo bisa melihat segaris senyum yang menghiasi wajahnya.

Tapi apa? Nyatanya gadis itu tak pernah sekalipun memikirkan perasaan Jisoo dan pergi begitu saja.

Yang katanya ia manusia brengsek, tidak juga tuh. Karena Jisoo malah jadi korban kebrengsekan seorang gadis.

Jisoo melenguh. Hanya dengan gadis itu saja ia ingin mengumpat karena patah hati.

Patah yang terlalu sakit untuknya.

***

Happened Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang