5

310 45 2
                                    

Yang pertama kali Jisoo lihat saat membuka mata adalah wajah Bunda.

Tunggu. Bunda?

"Baby. Kamu udah sadar sayang? Gimana? apanya yang sakit? Bilang sama Bunda!" Bunda mengubur jemarinya pada rambut Jisoo, mengusak rambut anaknya dengan lembut.

Sayup-sayup ia juga mendengar Ayah yang sudah melongok keluar pintu dan berkata pada dokter yang kebetulan lewat. "Dokter, anak saya sudah sadar."

Sedangkan Rosé, perempuan itu berdiri tak jauh dari brangkar. Menatap iba ke arahnya.

Setelah 2 bulan tidak bertemu Bunda, ia malah bertemu dengan perempuan paruh baya itu dalam keadaan mengenaskan seperti ini. Seperti biasa, Bunda selalu terlihat cantik, tapi hari ini agak beda sebab ada kantung mata yang menghitam di bawah matanya. Ada gurat kelelahan yang tercetak jelas di wajah Bunda yang mulai keriput.

Mungkin saja Bunda menjaganya semalaman tanpa tidur.

Jisoo merasa tubuhnya berat bukan main, dia masih demam, kepalanya sedikit pusing. Tenggorokannya terasa sakit, juga ia merasa nyeri di bagian belakang mata dan perut. Tangannya juga ikut sakit karena disusupi jarum infus.

Sebagai mahasiswa kedokteran yang kadang niat kuliah kadang tidak, setidaknya ia cukup tau gejala apa yang dialami olehnya, maka dari itu sebelum virus menyebar lebih parah di dalam tubuh, ia meminta Rosé untuk memanggil ambulance kemarin malam.

Jisoo hanya diam. Tubuhnya masih terasa lemas. Ia membiarkan dokter berjas putih dengan uban yang hampir menutupi kepalanya itu mengecek denyut nadi dan suhu tubuhnya.

"Kondisinya sudah lebih baik daripada kemarin malam. Trombositnya akan berangsur naik. Ini masih gejala awal Demam Berdarah, dan untungnya segera mendapat perawatan, jadi virus belum terlalu menyebar. Kondisi anak bapak akan segera pulih." Dokter itu tersenyum menatap Jisoo yang masih terlihat pucat. Sedangkan yang ditatap hanya acuh, lalu kembali memejamkan mata. "Berikan dia air jahe hangat, atau air kelapa, jus jambu juga boleh. Kalau mau memberi asupan, beri yang mudah ditelan dulu supaya perutnya tidak mual. Makan buburnya nanti menjelang siang saja kalau sudah tidak selemas ini."

"Iya, terima kasih. Dokter, terima kasih ners." Bunda tersenyum lebar, begitupun Ayah.

"Kalau begitu saya keluar."

Bunda beralih mengamati anaknya, dia mencium dahi Jisoo sedikit lebih lama, lalu pelipisnya, lalu kelopak matanya, dan yang terakhir pipi kanannya. Jisoo kontan membuka matanya cepat. Pipinya kini bersemu. Jujur saja ia malu diperlakukan seperti ini oleh Bunda, apalagi sekarang umurnya sudah menginjak kepala dua. Rosé yang tidak pernah melihat adegan seperti ini pasti sedang melongo dengan tampang bodohnya.

"Kamu janji bakalan jaga diri kan? Kalau gini jadinya, Bunda nggak akan izinin kamu tinggal di apartemen sendirian. Untung ada Rosé. Kalau enggak gimana?"

"Nggak bakalan mati juga, Bun."

Bunda menghela napas panjang. Entah kenapa anak keduanya itu selalu memandang sebelah mata kalau sudah berurusan dengan nyawa. Padahal dia sendiri kan calon dokter. Sudah sepantasnya Jisoo menjaga lisan dan tidak dengan entengnya mengucapkan kosa kata barusan.

"Kamu mau makan apa?"

"Tumis ganja kayaknya enak deh, Bun." Jisoo ini memang tidak ada serius-seriusnya.

"Bunda serius." Sungut Bunda, tapi masih dengan nada baik-baik. Sebenarnya Bunda ingin berseru marah, tapi ketika melihat Jisoo yang lebih mirip mayat hidup itu terkekeh, hatinya jadi mencelos dan mendadak sakit.

Pedih rasanya melihat buah hati yang sangat ia sayangi terkapar tak berdaya seperti ini.

"Kalau gitu biar Ayah suruh ahli gizi keluarga kita buat kirim makanan yang bagus buat Jisoo, Bun." Ayah menyahut. Laki-laki itu kini menggenggam tangannya yang tidak terpasang jarum infus.

Happened Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang