2

500 53 1
                                    

Setelah 2 bulan tanah terlihat kering kerontang, hujan akhirnya kembali rebah di Jakarta. Ada banyak hal tentang hujan yang membuat Jisoo seolah dipaksa mengingat kembali memori usang yang harusnya dilupakan. Hingga hari ini, hujan selalu datang saat kemalangan menimpanya, dibaliknya selalu saja ada kehilangan yang memang harus Jisoo lepaskan.

11 tahun lalu, dihari berhujan juga dirinya harus melepas Appa untuk dikebumikan. Appa meninggal karena 2 tembakan yang tepat mengenai pelipisnya dan di ulu hati. Hari itu ia terlonjak kaget saat melihat arak-arakan tentara berbaris dari kejauhan, hingga beberapa waktu setelahnya ia menyadari bahwa mereka semua datang bukan tanpa tujuan, melainkan datang dengan satu pernyataan kehilangan yang bagi Jisoo teramat menyakitkan.

Bahwa Appa tak akan pernah memeluknya lagi dan mengucapkan semangat tiap ia ujian semester. Appa juga tidak akan pernah lagi mengucapkan selamat saat Jisoo akhirnya menjadi rangking 3 di kelasnya.

Itu mungkin hanya masalah sederhana, tapi bagaimana dengan ratusan agenda sederhana yang ingin mereka wujudkan bersama? Karena pada akhirnya semua itu hanya akan sekedar tertulis di buku belaka dan tak pernah jadi nyata.

Dulu sekali Jisoo jelas tak suka setiap kali penerimaan rapot. Tak suka karena usaha kerasnya untuk belajar hanya berbuah rangking 3 disaat ia sudah begitu percaya diri mendapat rangking satu. Dan ketidak sukaanya yang kedua adalah tentang bagaimana rangking itu membuat Jisoo merasa sudah membuat Appa kecewa padanya.

Di saat ia sedang merasa galau yang berkepanjangan, saat itulah akhirnya Appa akan duduk di sampingnya, alih-alih memberikan ceramah panjang lebar seperti yang dilakukan Bunda, Appa hanya akan mengucapkan kalimat sederhana yang bahkan bisa menghapus kekecewaan Jisoo saat itu juga.

"Selamat Jisoo, besok ayo berjuang lagi. Kita harus dapatkan peringkat pertama." Kata Appa bersemangat, hingga akhirnya Jisoo betulan mendapat peringkat pertama di semester selanjutnya. Sedangkan Appa mendapat kenaikan jabatan setingkat mayor. Saat itu Appa masih terlalu muda untuk memahami bahwa untuk gelar yang lebih besar, artinya Appa juga turut mengemban tugas yang lebih sulit. Pangkat mayor yang Appa terima menjadikannya sering pergi untuk dinas di perbatasan. Jisoo tidak masalah, sebab Appa memang hebat. Anak itu selalu percaya bahwa Appa akan pulang dengan selamat.

Hingga akhirnya dengan gelar itu juga Appa gugur menjadi prajurit.

Appa gugur dengan gelar yang selalu Jisoo anggap keren.

Tanpa pernah sedikitpun ia tau bahwa dengan gelar itulah ayahnya menjadikan dirinya seorang yatim.

Wanita itu kini menoleh ke arah kasur di mana ia bisa menemukan atribut wisuda yang akan ia kenakan lusa, dihari kelulusannya sekaligus hari peresmian gelar sarjana kedokteran yang ia dapat.

"Akhirnya Jisoo nggak jadi tentara, Appa. Jisoo jadi dokter aja supaya bisa menyelamatkan ratusan orang seperti Appa." Katanya bermonolog, sebab dirinya sendiri tau bahwa kematian Appa terjadi karena laki-laki itu terlambat mendapatkan pertolongan dokter.

Jam 2 siang, saat hujan di luar sana masih setia menginvansi langit Kemayoran, tiba-tiba saja Jisoo mendapat telepon untuk pergi ke lokasi kecelakaan.

Ada kecelakaan beruntun yang terjadi sebab angin membuat pohon tua tumbang ke bahu jalan. Menindih dua mobil dengan laporan sementara 5 orang terluka. Tapi seolah belum cukup, sebuah bus dengan kecepatan tinggi menabrak mobil di depannya karena tak punya waktu untuk mengerem sebab jarak antar 2 mobil dan bis itu sangat dekat. Jisoo dan beberapa dokter magang lainya kini menuju rumah sakit terdekat dari tempat kecelakaan.

Setelah beberapa menit menunggu di halte, Jisoo mendapati sebuah sedan putih mendekat ke arahnya, mobil yang begitu familiar, sebab itu adalah mobil teman seperjuangannya sampai sekarang di dunia kesehatan.

Happened Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang