"Kalian saya gaji tinggi itu buat jagain anak saya. Tapi apa ini? Bahkan menjaga satu orang aja nggak becus." Lain halnya dengan Jisoo yang kembali terbaring lemah di atas ranjang perawatan, masih di ruangan yang sama, Ayah kini menatap tajam kedua orang yang sudah ia tugaskan untuk menjaga Jisoo supaya anak itu tidak keluar. Ayah tentu tau apa yang akan anaknya itu lakukan jika tanpa pengawasan. Alhasil dia menyuruh orang untuk menjaga kamar Jisoo dengan benar. Tapi sekarang, nyatanya hal itu tidak berguna sama sekali.
"Maaf, Pak. Tapi kami tadi pergi karena Nona muda yang menyuruh."
"Apa saya menyuruh kalian untuk menuruti perintahnya?"
Hening sejenak, tak ada jawaban yang terlontar dari mulut dua laki-laki berpakaian serba hitam itu. Mereka diam, tak mau bicara lebih banyak. Takut jika urusannya bertambah runyam nantinya.
"Ayah, udah. Nggak baik bikin ribut di sini." Bunda mencoba menengahi.
"Tapi Bun, kalau mereka jaga Jisoo dengan benar pasti nggak bakalan kayak gini kejadiannya."
"Ayah, lagian juga udah terlanjur. Ini bukan salah mereka. Bunda bahkan kecolongan. Udahlah, yah. Jisoo baik-baik aja kok."
Ayah hanya melirik sekilas ke arah Bunda, sebelum akhirnya mengatakan dengan nada dongkol pada pesuruhnya itu untuk pergi. "Pergi! Kembali berjaga di luar!"
Ayah menarik napas panjang, lalu berjalan mendekat ke arah Bunda yang sedang duduk di kursi samping ranjang. Dengan mata berkaca-kaca Ayah mengusap lembut rambut Jisoo, lalu menundukkan badannya dan mencium kening anaknya sekilas.
Dia menyayangi Jisoo. Tak peduli meskipun dunia berkata ia adalah ayah tiri anak itu, tapi perasaannya tak pernah bohong. Ia menyayangi Jisoo sama besarnya seperti dia menyayangi Jackson.
Ia menyayangi Jisoo.
Ia menyayangi putrinya.
Pram menggumamkan nama Jisoo berulang kali. Dalam ketakutan itu, ia tanpa sengaja mengingat kembali cerita bertahun-tahun lalu ketika Pram duduk berdua dengan Jisoo yang saat itu masih berumur belasan.
Saat di mana tinggi Jisoo masih sebatas telinganya.
Dari dulu Jisoo memang manusia yang hanya bicara saat perlu saja, tapi makin bertambah usia, anak itu menjadi semakin dingin tak tersentuh. Bahkan mencoba menutup diri sejak empat tahun yang lalu dengan menyewa apartemen sendirian. Tapi setidaknya, Pram masih bisa bicara dengan versi Jisoo yang banyak bicara dan mau berbagi beberapa cerita padanya, bukan seperti sekarang yang sudah menjelma jadi wanita irit bicara seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya dihargai lima ribu rupiah.
"Kalau cuma bikin Bunda bahagia sih saya juga bisa, Om." Katanya, di suatu sore. Masih di hari yang sama ketika paginya Pram dan Tiffany mengucap janji suci didepan altar.
"Terus kenapa kamu biarin Bunda kamu nikah sama saya?"
"Karena saya merasa waktu saya untuk membersamai Bunda nggak selama itu. Nanti, akan ada masanya saya membangun bahtera rumah tangga dengan pasangan pilihan saya. Dan saat hari itu datang, permintaan saya cuma satu, supaya Bunda nggak kesepian dan memiliki satu orang yang setia menemaninya di hari tua dengan penuh cinta. Lima tahun sejak hari kematian Appa, saya selalu mencoba membuat Bunda bahagia. Bunda mungkin kelihatan baik-baik saja dengan senyum yang coba ia perlihatkan pada saya, tapi pada kenyataannya Bunda tetaplah seorang perempuan yang ditinggal pergi suaminya untuk selamanya. Jadi meski saya berusaha keras untuk mengisi kekosongan itu sekalipun, saya tidak akan pernah bisa mengisi kekosongan sosok suami dalam hidup Bunda, begitu pun Bunda yang tak akan pernah bisa mengisi kekosongan sosok Appa dalam hidup saya. Dan hari ini saya lega karena hal itu udah berakhir. Bunda saya mendapatkan Om sebagai pengganti Appa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Happened
FanfictionPertemuan, Perjodohan, dan Takdir Atas dasar kebaktian kepada orang tua yang ingin anaknya segera menikah, Kim Jisoo dengan Irene Sanjaya melakukan pertemuan sederhana sebagai kencan buta di sore berhujan. Namun siapa sangka? pertemuan itu berubah r...