Nistisha Gantari tidak pernah menyangka jika tahun terakhirnya di SMA akan dihabiskan dengan berurusan dengan pentolan geng, Jeksa Alden Ellion yang selama ini tidak pernah berinteraksi lebih dengannya. Yang membuat Nistisha kaget setengah mati, lak...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Be kind, be humble, be the love.
-
"Angkat dagunya sedikit,"
"Yuk, lihat kesini Shaa!"
"Bayangin kamu lagi berduaan sama pacarmu, biar feel-nya tambah ngena-"
"Nah sip-sip!"
"Good job Isha! Besok-besok lagi ya!"
Nistisha Gantari memamerkan senyumannya setelah kalimat terakhir itu diucapkan, sebuah kalimat yang menandakan bahwa orang-orang ini tidak kapok bekerja dengannya meskipun dia masih tergolong cukup muda. Bergelut di dunia entertainment juga memberikan tekanan tersendiri bagi Nistisha. Dia masih anak SMA, meskipun karirnya sebagai model dan influencer cukup baik, dia masih ingin mempertahankan sisi anak SMA-nya agar tidak kehilangan momen ini.
"Kata gue mah, 5 tahun lagi lo udah bisa bersanding sama Luna Maya sama Raline Shah. Atau bahkan jadi penerus mereka! Menyala terus Neng Nistisha!"
Nistisha terkekeh mendengar penuturan sahabat yang juga menjadi manager-nya secara cuma-cuma itu. Tersipu atas pujian yang sebenarnya berlebihan itu, namun diam-diam juga mengamini kalimat baiknya. Bukannya apa-apa, memangnya siapa yang tidak ingin menjadi seperti mereka? Untuk seseorang yang memiliki dan merasa bahwa passion-nya di bidang tersebut mungkin menjadikan keduanya sebagai role model.
Gadis itu menyukai dunia modelling sejak kecil, mungkin menurun juga dari sang Mama yang pernah menjadi gadis sampul pada masanya, juga sang Papa yang memiliki selera fashion yang Nistisha akui cukup bagus. Kedua orang tuanya hampir berusia setengah abad, namun dia juga mengakui bagaimana keduanya cukup awet muda. Bahkan pada saat Nistisha masih SMP, ada yang mengira bahwa dia membawa sang Kakak sebagai wali murid, padahal jelas-jelas yang datang saat itu adalah Mamanya.
"Sha, kata gue lo beneran dapet orang tua yang support keinginan anaknya, mereka gak kolot dan mau dengerin pendapat lo. Mereka ngasih pertimbangan dan gue benar-benar salut sekaligus bangga sama mereka! Asli Sha, lo beneran beruntung banget!"
Benar, Nistisha cukup beruntung bisa menjadi anak dari orang tuanya saat ini. Dia benar-benar didukung, tidak hanya secara fisik ataupun materi, namun juga psikologisnya. Dulu saja, Nistisha harus sembunyi-sembunyi apabila ada yang memintanya menjadi model untuk beberapa barang, padahal barang itu bukan sesuatu yang aneh apalagi berbahaya. Dan merasakan bagaimana dia mendapatkan kepercayaan untuk menjalani apa yang dia mau, benar-benar membuat Nistisha bahagia.
"Semangat foto-fotonya Kakak, Papa hari ini lembur dulu ya. Bilang sama Mama untuk ajak kamu makan diluar, udah Papa transfer. Have fun!"
Begitu pesan itu muncul di layar ponselnya, senyum Nistisha melebar. Sukses membuat hari-harinya terasa lengkap, dia akan segera menghubungi sang Mama dan mengajaknya pergi ke salon, kemudian mereka akan berbelanja bulanan, kemudian makan di luar. Baik, hari ini lengkap sudah. Pekerjaannya lancar, Isha melakukannya dengan baik, jadi tentunya hal ini harus dirayakan!
Hidup Nistisha dalam kacamata orang lain adalah definisi sempurna, meskipun tentunya hal itu tidak benar. Jauh sebelum Isha mendapatkan hal ini, ada banyak hal yang juga diambil darinya. Sebuah representasi dari kalimat bahwa kebahagiaan saat ini adalah pengganti dari apa-apa yang Tuhan uji dari hidupnya.
Dan Nistisha bersyukur bisa sampai pada tahap menerima dan memahami maksud dari ujian ini.
"Sha, gue doain lo dapet cowok yang mukanya red flag, auranya black flag, tapi sifatnya green flag. Kalah-kalah dah tuh hutan negara, bahkan Cho Yong Pil aja lewat!"
Mendengar hal itu, Nistisha segera menoleh hanya untuk melihat bagaimana temannya berkata dengan ekspresi serius. Nistisha tertawa, "Gue sujud syukur didepan ruang kepala sekolah kalau beneran dapet satu yang Cho Yong Pil aja lewat."
"Oke, udah gue catet dan rekam!" Katanya sambil menggoyangkan telepon ditangannya, "Kalau lo dapet, hal yang pertama gue tagih adalah ini! Jadi Nistisha Gantari—" gadis itu menjeda kalimatnya.
"Gue bakal awasin dengan siapa lo jatuh cinta!"
Nistisha menjabat tangan temennya, "Oke deal." Katanya mantap, "Gue bakal dapat lebih, lebih dari Yong Pil atau siapapun yang udah lewat dihidup gue."
"Lo masih suka nangisin Gal—"
"Udah enggak." Nistisha menyela cepat, melotot tidak terima. "Gue udah ada cem-ceman baru."
"Halah, lo ngomong dari tahun lalu juga begitu mulu. Kagak ada tuh gue lihat lo jalan sama cowok."
"Tahun ini pasti." Nistisha berucap yakin dan pasti. "Doain gue biar cepet laku lagi, mubazir banget cewek kayak gue dianggurin dua tahun."
Dan tebak, apa yang diambil Tuhan dari hidupnya yang katanya sempurna itu? Iya, betul. Cinta. Dalam 17 tahun hidupnya, saat pertama kali merasakan sakitnya jatuh cinta, Nistisha menangis keras-keras, nyaris tidak memiliki semangat hidup, dan hampir saja gila karena berpikir 'apa dia memang pantas diperlakukan seperti ini?'
Tapi dia tidak takut jatuh cinta, sebab meskipun sudah merasa sakit, bukan berarti hal itu akan menjadi alasan kenapa kakinya berhenti untuk mengejar hal lain. Nistisha masih muda, perjalannya untuk menemukan cinta masih terlalu panjang apabila hanya bertumpu pada satu hal yang membuat sakit.
Dia tahu, bahwa ada banyak manusia-manusia penuh warna yang siap membuatnya jatuh cinta.
Tbc.
Yap halo, ini adalah gambaran dari Nistisha Gantari— nama yang sebelumnya sudah pernah di mention pada chapter terakhir Candala.
Jadi ucapkan selamat datang pada Nistisha Gantari! Selamat menemaninya berjalan!