"Cabai merah keriting dicampur sama rawit sepuluh ribu Yu Salem."
"Harga lagi naik lagi Bu, sepuluh ribu paling dapet segini." seseorang yang dipanggil Yu Salem itu menjawab sambil menunjukkan genggaman tangan kanannya-sedikit sekali. Ia lalu mengambil cabai dari keranjang kayu yang ditata berjejer dengan sayuran lain dan menimbangnya. Setelah dirasa pas, cabai tersebut dimasukkan jadi satu ke dalam plastik bening.
"Butuh apa lagi Bu Siti?" tanya Yu Salem, pemilik warung sayuran sambil mengikat plastik bening dan meletakkannya di depan Bu Siti.
"Kacang panjang boleh Yu, setengah kilo. Buat campuran tempe kemarin belum dimasak."
Saat Yu Salem sibuk menimbang kacang panjang dan Bu Siti memilah tauge di baskom plastik, dari luar tampak Bu Darni datang dengan tergesa-gesa ke warung Yu Salem.
"Bu, katanya rumah saudara Pak Kades sudah laku. Ada orang yang ngontrak." Bu Darni menyampaikan berita dengan nafas masih memburu, sekan-akan berita besar itu mengalahkan kabar gembira saat Idam, pemuda kebanggaan warga kampung Srita berhasil menjadi dokter.
"Ngono wae kok heboh Bu Darni. Tak kira anaknya sampeyan ranking satu di sekolah." Bu Siti menimpali kabar dari Bu Darni dengan santai sembari mencari penyedap rasa diantara barang-barang dagangan yang digantung berjejer rapi di atas barisan kotak beras.
"Kalau sampai Bambang Pamungkas ranking satu di sekolah, Bu Darni tak kasih tahu tempe gratis selama satu minggu." Yu Salem turut menimpali dengan cekikikan. Bambang Pamungkas yang sedang dibicarakan adalah anak kedua Bu Darni yang masih duduk si Sekolah Dasar kelas 4. Tak seperti namanya, anak Bu Darni tersebut tidak suka sepak bola dan terkenal malas belajar. Tahun ajaran kemarin Bu Darni dan suaminya harus menemui wali kelas Bambang secara langsung agar anak mereka bisa naik kelas, meskipun berat persyaratannya.
"Eh bukan begitu ibu-ibu. Rumah saya kan di seberangnya persis, saya ndak tahu sudah ada yang ngontrak loh. Taunya malah dari orang lain." Bu Darni bercerita dengan menggebu, karena menurutnya ini topik penting.
"Lah sampeyan dari mana taunya?" Yu Salem mulai tertarik dengan bahasan ini.
"Kemarin sore, suami ketemu sama Pak Nakim di Balai Desa. Katanya titip, ada warga baru yang ngontrak di depan rumah saya itu. Lah ini saya ndak tahu kok sudah isi rumahnya tapi orangnya belum kelihatan."
"Katanya pindah kapan itu Bu?" Bu Siti yang awalnya hanya mendengarkan ikut tertarik dengan obrolan ini. Seketika ia lupa dengan penyedap rasa yang belum ia dapatkan.
"Nah itu. Katanya sudah sekitar tiga sampai empat hari ini. Masa iya orangnya ndak keluar rumah blas. Tadi di jalan ketemu Pak RT, saya tanya juga belum ada yang lapor pindahan."
"Sampeyan sudah tanya Mbah Nem belum? Kan rumahnya sebelahan pasti lebih tahu." Bu Siti merasa menawarkan ide cemerlang.
"Wong linglung kok ditanya, Bu Siti Bu Siti. Mbah Nem cuma tau nginang sama ngasih pakan ayam saja."
"Tadi sebelum ke sini saya coba melengok sebentar, ternyata ada mobil putih parkir di samping rumah. Cuma memang ketutup pohon rambutan." Bu Darni menambahkan.
"Mobil Bu? Punya yang ngontrak itu?" Yu Salem memajukan badannya menunjukkan ketertarikan lebih. Akhirnya ada yang punya mobil di kampung ini.
Obrolan di warung Yu Salem terus berlanjut dengan semakin banyak dugaan-dugaan yang muncul tentang siapa yang mengontrak rumah saudara Pak Kades. Tentu, warung menjadi tempat penyebaran infomasi yang cukup cepat meskipun tidak selalu akurat. Warung Yu Nem yang mulai buka setengah enam pagi memberikan kesempatan bagi siapapun yang berbelanja mendapatkan kabar lebih awal daripada berita pagi di televisi. Semakin siang, terlihat warung Yu Nem semakin ramai dan semakin banyak pula warga yang mengetahui bahwa ada penghuni baru di Kampung Srita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Layar Baru Nari
General FictionNovel ini menceritakan kisah hidup Nari sebagai pendatang baru di Kampung Srita. Kedatangannya membuat warga kampung penasaran sekaligus membuat Nari tidak nyaman. Namun, mau tidak mau Nari harus beradaptasi dengan warga di Kampung Srita dan bangkit...