History 11

186 44 5
                                    

Voment ya^^

Je A merasa cemas kala dia sadar jika tubuhnya semakin jatuh ke dasar air. Semua yang tertatap di permukaan perlahan menjadi jauh. Cahaya yang menyinari wajah Wang Byun kian meredup dan membuatnya panik. Dia berusaha untuk bergerak dan menyelam, sayangnya tak ada sedikitpun pergerakan.

Mungkinkah ini akhir hidup Han Aya?

Napas Je A menyesak karena tak ada oksigen memasuki paru-parunya. Dia terus mendialogkan doa pada Tuhan agar barangkali Wang Byun datang dari permukaan untuk menariknya dasar sungai yang dikiranya tak akan sedalam ini. Ketakutan itu begitu besar, wajah Wang Byun dan Pangeran Eri bergantian muncul di balik kelopak matanya yang memejam.

Wang Byun, Pangeran Eri, selamat tinggal.

"Je A~ya, bangunlah."

Samar, suara lirih itu menyapa telinga Je A. Tapi matanya tak mampu sedikitpun terbuka dan melihat siapa gerangan yang memanggilnya. Dada Je A memberat hingga mencekiknya dengan siksaan.

"Bi, Je A menangis."

"A~ya!"

Suara itu sangat familiar, tapi Je A tak bisa menebak meski hati dan telinganya mengenal. Hati Je A sakit dan terasa frustasi sendiri. Apa seperti ini rasanya manusia yang akan mati?

"A~YA!"

"HOAHHH!!"

"JE A~YA! KAU BANGUN, YA TUHAN!"

Pelukan hangat di dadanya terasa begitu hampa. Kala mata Je A bertatapan dengan milik Brenda, anehnya bukan rasa gembira yang ada di hatinya. Ternyata itu bukan suara seseorang yang dia harap akan menolongnya.

"Anakku. Ibu mengkhawatirkanmu, Je A!"

"Aku dimana?"

"Kau di rumah sakit, A~ya. Sudah tidak bangun selama dua hariㅡ"

"WHAT?! Tungguㅡberapa hari?"

"Dua hari! Kau membuat kamiㅡ"

"HANYA DUA HARI?"

Brenda dan Jung Semi saling berpandangan saat mendengar pertanyaan Je A barusan. Itu adalah pertanyaan konyol seolah dua hari bukan hal luar biasa menakutkan untuk Ayah, Ibu, Kakak dan sahabatnya. Mungkin benturan di kepala Je A sangat parah hingga wanita itu menjadi seaneh ini.

"Tidak." Je A meringis kala rasa pening itu perlahan muncul di kepalanya karena teriakannya, "Aku bahkan hampir dua bulan di Istana."

"Astaga, Bibi." Brenda menutup mulutnya dengan tatapan melotot tak percaya pada ucapan Je A barusan, "Sepertinya kepala Je A cedera parah. Kupanggilkan dokter."

"Apa yang kau bicarakan, A~ya. Sadarlah, kau bermimpi!"

"Tunggu, Bu." Je A menyentuh perutnya, "Apa aku hamil?"

"Han Je A!" Semi ikut melotot dan ingin sekali memukul kepala Je A agar barangkali otak anaknya yang bergeser kembali ke tempatnya, "Kau berbuat apa saja di belakang Ayah dan Ibu, Hah?!!"

"Buㅡ"

"Berhenti melantur dan membuat Ibu menggantikan tempatmu ya!"

"Anakku, Je A. Kau sudah siuman?" Teriak suara berat seorang pria berstatus Ayah Je A dari arah pintu, "Brenda berlari tanpa menjawabku jadi aku khwatir. Ternyata kau bangun, Nak."

"Tapi kondisinya mengkhawtirkan, Yah." Ujar sang Ibu dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama kemudian, Brenda datang bersama seorang dokter. Je A diperiksa dengan seksama, mulai dari suhu tubuh, tensi darah dan kesadarannya. Tapi semua nampak normal meskipun responnya sedikit nampak cemas.

History (Never Ending) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang