Voment
Menginjak satu minggu sejak hari dimana dia terjebak pada era masa lalu, Je A mencoba mempelajari situasi di sekitarnya. Semua memang masih tidak membuatnya terbiasa. Tapi bagaimanapun, Je A harus tetap hidup untuk mencari cara agar bisa kembali di peradaban tempatnya hidup seharusnya.
Hidup di Istana benar-benar tidak mudah. Apalagi harus mengemban status sebagai Istri dari seorang Putra Mahkota. Bukan rahasia umum bahwa hal itu membuatnya tidak hanya punya kuasa, tapi juga punya musuh tersembunyi di setiap sudut Istana. Masing-masing dari mereka yang menunduk hormat, dari yang bangsawan hingga tak punya kasta, bisa saja adalah pengkhianat yang mencari celah untuk mencelakainya.
Kedisiplinan yang diterapkan Permaisuri bukan main-main sulitnya. Je A bukan wanita yang pemalas, tapi untuk berada di posisinya sekarang, kedisiplinannya berada di tingkat yang berbeda. Dari sebelum tidur hingga tidur lagi, semua sudah ada aturan dan tata tertibnya.
Menangis tanpa henti seharian penuh sudah pernab Je A lakukan di Istananya. Bahkan Dayang Jung dan lainnya ikut khawatir saat melihat matanya sembab seperti baru saja digigit hewan berbisa. Tapi perlahan Je A tahu, tangisannya tak bisa mengubah apapun. Justru itu dapat membahayakannya juga Wang Byun dan Pangeran Eri.
Tentang Pangeran Eri, Je A mulai menyukai anak itu. Meski rupanya mempunyai duplikat hampir seratus persen dengan milik Ayahnya, tapi sikapnya sangat berbanding terbalik. Pribadinya ramah dan sopan, senyumnya selalu ceria dan secerah matahari pagi. Bahkan Je A sudah tak canggung jika harus menemari Pangeran Eri tidur di kamarnya. Awalnya terasa aneh, tapi Je A tebak, kenyamanan yang tumbuh di hatinya adalah ikatan batin antara Permaisuri Han Aya dan anak tunggalnya yang rupawan itu.
"Pangeran." Je A yang duduk di pendopo menemani Pangeran Eri bermain bersama para Dayang dan Pengawal menatapi wajah lugu anak itu, "Bolehkah Ibu bertanya sesuatu?"
Pangeran Eri sontak mengangguk, "Tentu, Ibu."
"Bagaimana perasaan Pangeran Eri menjadi seorang anak dari Putra Mahkota?" Je A menelan ludahnya yang tercekat. Dia merasa bodoh karena nekat bertanya hal seperti itu pada bocah berusia lima tahun.
Alih-alih kebingungan, Pangeran Eri justru menunjukan senyum lebarnya. Dia meletakan bola rotan yang semula dimainkannya dan duduk mendekati Je A. Yang membuat Je A terkejut adalah tindakan tak terduga Pangeran Eri selanjutnya. Anak laki-laki itu duduk di samping Je A dan menggenggam tangannya erat. Dengan tatapan cerah, Pangeran Eri berhasil membuat Je A salah tingkah.
"Aku senang. Karena aku anak dari Ayah dan Ibu, tentu saja aku sangat senang." Pangeran Eri nampak meyakinkan, "Tidak ada yang lebih membuatku senang daripada menjadi Erinya Ayah dan Ibu."
Je A merasa tersentuh. Bibirnya mencebik seolah hendak ingin menangis mendengar jawaban Pangeran Eri. Suara Pangeran Eri sangat lembut dan tutur katanya begitu halus. Mungkin saja Pangeran Eri terlahir dengan perpaduan adil gen Ayahnya yang tampan dan Ibunya yang penyayang.
"Bukankah hidup di Istana sangat keras?" Tanya Je A sedih mengingat banyaknya kegiatan Pangeran Eri yang menyita waktu bermainnya.
Pangeran Eri menunjukan senyum kotaknya, "Semua boleh jahat padaku, asalkan ada Ayah dan Ibu yang berpihak padaku, aku akan baik-baik saja."
Je A merangkum kedua pipi tembam Pangeran Eri, "Kau manis sekali, Nak."
Raut wajah Pangeran Eri berubah khawatir, "Apa Ibu Permaisuri sedang sedih?"
"Tidak." Jawab Je A berbohong, dia bukan hanya sedih tapi juga sangat putus asa, "Hanya ingin memastikan perasaan Pangeran Eri saja. Ibu khawatir karena banyak kelas yang harus Pangeran datangi. Semua pasti membuat Pangeran merasa berat. Disaat anak-anak lainnya senang bermain, Pangeran Eri harus berkutat dengan hafalan banyak hal tentang isi kerajaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
History (Never Ending)
Hayran KurguJe A kehilangan akal ketika dengan nyata menyadari bahwa saat dia membuka mata, dunianya sudah berbeda dari sebelumnya. Terlempar sejauh 900 tahun ke masa lalu membuat Je A mengetahui bahwa amat lampau dari kehidupannya saat ini, dia telah lebih dah...