Hari Pertama

0 0 0
                                    

Lelaki itu menaiki kereta paling pagi, ia dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia baru saja dari rumah neneknya di Bogor. Nenek kurang sehat sejak satu minggu ini, sedangkan ibu sedang dinas luar kota. Agar hati ibu tenang, ia yang menggantikan ibu melihat kondisi nenek. Syukurlah nenek tidak apa, hanya kurang selera makan. Nenek memberinya oleh-oleh berupa keripik tempe yang jadi usaha baru nenek selama dua tahun terakhir. Sehingga ia pulang dengan membawa banyak keripik tempe.

Suka memilih kerjaan, agak pemalas, hemat, kurang jujur, hidup bagaimana yang paling gampang. Itulah kesan yang didapat dari seorang lelaki umur 40an yang berdiri tak jauh darinya di kereta. Lelaki umur 40an itu tampak mengenakan kemeja abu-abu lengkap dengan dasi berwarna merah yang tampak sudah kusam. Barangkali itu dasi pemberian kakeknya.

Pekerja keras, perhatian, sayang keluarga. Itulah kesan yang didapat waktu melihat seorang wanita umur pertengahan 50an membawa dua tas tentengan. Ibu itu ada di belakang bapak kemeja abu-abu, namun untunglah ia bisa duduk, tidak repot-repot berdiri, karena barang bawaannya cukup banyak.

Kereta berhenti kembali di stasiun. Lelaki yang membawa keripik tempe itu bergegas keluar dari pintu kereta, gesit namun hati-hati, agar keripik tempe yang dibawanya tidak pecah tersenggol orang yang berlalu-lalang. Segera setelah turun, ia memesan ojek online. Tak lama, ia sudah berdiri di depan pintu rumah.

Halo, sayang, sudah di rumah? terdengar suara ibu di ujung telepon.

Iya, sudah Ma. Ini mau beres-beres, siap-siap berangkat kuliah.

Oke, makasi banyak anak mama yang paling baik.

Oke, Ma.

Lelaki yang baru saja menelpon ibunya itu bersiap-siap hendak pergi ke kampus. Namun sekilas dilihatnya rumah agak berantakan. Maklum, ditinggal berdua dengan papa, rumah sudah pasti jadi seperti ini. Papa sudah berangkat kerja sebelum ia sampai di rumah. Dengan cekatan ia menyambar kain-kain yang bertebaran di kursi ruang keluarga, meletakkan gelas dan piring bekas makan di tempat cuci piring dan menyapu rumah dengan cepat. Tak lama, ia sudah siap berangkat kuliah.

Lelaki bertubuh langsing dengan rambut comma hair itu bergegas menaiki tangga bus. Masih dengan napas terengah-engah, lelaki itu berdiri di bagian depan, sambil menghadap ke arah belakang. Headset yang selalu standby di telinganya sudah memutar symphony no. 40 dari Wolfgang Amadus Mozart sejak ia keluar rumah. Ia melirik kanan kiri, memperhatikan beberapa orang penumpang. Terkesan cuek namun sebenarnya seorang observer yang teliti. Itu menurutnya.

Lelaki muda itu memperhatikan beberapa penumpang yang ada dalam jarak pandangku. Seorang gadis dengan seragam SMA dengan wajah cerdas, rajin, pekerja keras, dan ambisius. Kuncir kuda rambutnya yang tetap kokoh meski bus sering berhenti mendadak menggambarkan kekuatan dirinya yang tak mudah goyah. Seorang nenek yang duduk di bangku tengah, dengan wajah masam, pelit, pemarah, dan sepertinya suka memaki.

Halte SMA satu, sorak stoker bus bersemangat.

Gadis SMA dengan rambut kuncir kuda tadi segera bergegas turun dari bus. Meski ia duduk di kursi depan, dan beberapa anak SMA lainnya ada di bagian tengah, mudah saja baginya menyelip diantara orang-orang yang berdiri, dan dengan cekatan ia jadi yang pertama keluar dari bus. Teknik pengambilan langkahnya yang efisien mencerminkan kecekatan dan tingkat kompetisi yang tinggi.

Stokar lelaki dengan kemeja biru muda mulai menagih ongkos bus dari para penumpang. Aku langsung mengeluarkan selembar uang lima ribuan dan memberi kode dengan menaikkan kedua alis sebanyak dua kali, sisanya ambil saja. Lelaki itu langsung mengerti karena sudah beberapa kali aku naik bus ini dan ia juga sedang bertugas. Namun, saat ia meminta ongkos dari nenek bermuka masam yang duduk di depan, terdengar suara parau dengan nada marah.

Face ReaderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang