Chapter 06

98 29 7
                                    

Pemuda itu tidak pandai mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, atau mengekspresikan emosi maupun kata hati. Dia kesulitan mengakui bagaimana perasaannya. Dia merasakan banyak keraguan, dan ketidakberdayaan.

Karena itu, sejak masih kecil, ia lebih memilih menuangkannya dalam tulisan atau gambar. Dengan cara itu ia merasa lebih nyaman. Namun hanya sebatas itu, selebihnya ia tetap melihat segala sesuatu dengan suram dan tak menentu.

Mimpi buruk sesekali datang, meninggalkan kesan yang sulit dilupakan. Lebih banyak kesedihan dibandingkan kebahagiaan. Namun ada kalanya mimpi-mimpi terasa begitu manis dan memberikan secercah harapan, yang dia sadari bahwa itu palsu saat ia terbangun di pagi yang sepi.

Untuk kesekian kali ia menggambar. Kali ini bukan wajah menakutkan atau benda-benda pecah berantakan, bukan juga pemandangan langit suram dan gumpalan awan hitam. Tahun ini ia sudah menginjak dewasa, jadi ia mulai meninggalkan gambaran lama dan menggoreskan sesuatu yang baru.

"Sean ... "

Suara panggilan Ayah membuatnya terkesiap. Dia tengah duduk di meja tulis dalam kamarnya, sibuk menggambar sesuatu. Dengan cepat dia menutupi hasil karyanya dengan buku lain dan bergerak menuju pintu.

"Ya?" dia menyembulkan wajah dari balik pintu, melihat Ayah sudah berpakaian rapi berdiri di depan pintu kamarnya. "Kau akan pergi ke suatu tempat?" Dia meneliti penampilan sang ayah.

"Aku baru saja akan berpamitan padamu. Ada beberapa orang kawan lama mengajakku bertemu dan main kartu di Amor Tavern. Setelah masa liburan singkat kita ke Beijing, tanpa sengaja Ayah bertemu kembali kawan lama dan beberapa di antara kami bermukim di negara ini."

"Semacam reuni?" tanya Sean.

"Bisa dikatakan seperti itu. Mungkin akan pulang sedikit terlambat." Ayah mengangkat bahu, tidak yakin akan gagasan reuni. Dia hanya tersenyum miring.

"Baiklah. Nikmati waktumu," Sean balas melemparkan senyum singkat pada Ayah.

"Apa yang sedang kau kerjakan?" Ayah melirik ke meja tulis, melihat sehelai kertas bergambar yang ditutup secara sembarangan. Tentu saja dia tidak bisa melihat jelas gambar itu, tapi cara Sean menyembunyikan membuatnya penasaran.

"Tidak ada."

Senyuman gugup terwujud di wajah manis itu.

"Baiklah. Sampai nanti."

Ayah mengangguk samar dan berjalan menjauh dari pintu kamar.

Ayahnya mungkin bersikap seakan-akan tidak terlalu peduli. Namun sebenarnya ia sangat memperhatikan sang putera. Bahkan hal yang terlihat sederhana, ia akan mencoba mengetahui dan memahaminya. Diam-diam, pada hari berikutnya, dia memasuki kamar Sean dan memfokuskan perhatiannya pada meja tulis Sean, menelusuri informasi yang tidak bisa ia liha sebelumnya. Meja tulis dipenuhi sketsa gambar wajah seseorang. Entah siapa. Mungkin salah seorang kawannya karena gambaran itu menunjukkan wajah seorang pemuda.

Sang ayah menarik napas dan menyentuh sketsa itu. Dia melihat ada beberapa lembar lagi sketsa dengan wajah yang sama. Apakah Sean sangat menyukai sosok pemuda ini? Mengapa dia melukisnya berulang kali? Dan yang lebih penting lagi---siapa pemuda ini?

Sean tidak pernah memiliki kekasih bahkan sampai sekarang. Jika dia sungguh menyukai pemuda dalam gambar ini, sang ayah berjanji pada diri sendiri, ia akan mempertemukannya dengan Sean.

=====

Aku melihatnya lagi.

Benarkah itu dia?

𝐒𝐩𝐫𝐢𝐧𝐠𝐭𝐢𝐦𝐞 𝐈𝐧𝐧 𝐏𝐚𝐫𝐢𝐬 (𝐄𝐧𝐝 𝐏𝐃𝐅) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang