IX: Your Sword and Pawn

237 32 2
                                    

Semuanya berawal sejak dua belas tahun yang lalu. Takdir, ya benar. Takdir merupakan naskah terindah, terburuk, terkutuk, teraneh, serta terbaik yang pernah sang penulis mahakuasa ciptakan. Tuhan menorehkan kisah-kasih takdir di atas kertas putih, membuat setiap individu di muka bumi ini, sadar atau tidak sadar, berpasrah atau melawan, nyatanya tetap berpijak pada setapak tanpa arah berjudulkan takdir.

Siapakah yang bisa menebak alur dari naskah mahakuasa takdir?

Siapakah yang bisa menghapuskan kelanjutan kisah di dalam takdir?

Hanya kematian jawabannya.

Mungkin, dua belas tahun yang lalu, Jeonghan masih memiliki setitik kepercayaan diri bahwa manusia tidak selamanya berpijak pada takdir. Ia masih merapalkan doa atas harapan bahwa di masa depan, nasib baik akan menghampirinya. Setidaknya, untuk dirinya dan keluarganya yang tengah bertahan hidup di pojokkan desa kecil di Busan.

Dua belas tahun yang lalu, Jeonghan baru saja memulai kisahnya sebagai pekerja serabutan di Gangseo setelah memutuskan untuk merantau jauh dari keluarganya. Hal ini Jeonghan lakukan demi meraih cita-citanya, yakni menjadi seorang polisi. Dalam benaknya, Jeonghan selalu mengingat pesan dari mendiang kakeknya, yakni untuk terus berbuat baik dan tidak mengkhianati kepercayaan orang lain.

Setidaknya, ia masih memiliki semangat untuk hal tersebut. Meskipun kini ia harus merantau, meskipun ia harus tinggal di sebuah rumah gubuk kecil di daerah kumuh, meskipun ia harus bekerja di empat tempat sekaligus dari hari Senin hingga Sabtu, dari pagi ke tengah malam, Jeonghan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia mempersiapkan dirinya dengan belajar di sela-sela jam istirahat di tempat kerja dan saat ia libur di hari Minggu. Jeonghan menyisihkan pundi-pundi uang yang ia dapatkan untuk kebutuhan belajar dan persiapan tes masuk Akademi Polisi, sekaligus mengirimkan beberapa ribu won untuk keluarganya di Busan.

Jeonghan yang tidak memiliki siapapun, Jeonghan yang tidak mengenal siapapun, Jeonghan yang tidak memiliki apapun. Ia hanya memegang teguh mimpi dan pesan dari mendiang kakeknya.

Hingga di suatu malam, Jeonghan yang baru pulang dari kedai tempatnya bekerja tiba-tiba saja berhenti di depan gang gelap yang berada dekat dengan tempatnya tinggal. Terdengar suara merintih dari dalam gang, lebih tepatnya di dekat tiang lampu jalan. Di sana, Jeonghan melihat seseorang yang tengah duduk di atas kotornya jalan aspal sembari memeluk kedua lututnya. Dari kejauhan, terlihat pundak orang itu perlahan bergerak, menandakan bahwa ia masih bernapas.

Penuh dengan rasa penasaran, Jeonghan pun masuk ke dalam gang tersebut dan mendekati sosok yang langsung mendongakkan kepalanya saat menyadari ada langkah kaki yang mendekat. Sorot mata itu menunjukkan ketakutan, rasa sakit, dan keputusasaan. Baru saja ia hendak bergerak menjauh, Jeonghan sudah lebih cepat menunjukkan senyumannya. "Tenang, aku hanya pekerja kedai makanan di sekitar sini. Aku tidak akan menyakitimu."

Perlahan, sosok yang tadi hendak berlari itu kini diam di tempat dan mengarahkan seluruh fokusnya pada Jeonghan. Kedua tangannya bergetar, mungkin masih merasakan takut atau tubuhnya teramat sakit dengan beberapa bekas lebam dan luka di wajah, lengan, hingga betisnya. Pemuda yang tadi meringkuk sendirian itu kini menemukan seseorang yang cukup peduli untuk masuk ke dalam gang gelap dan lembab ini dan kini malah menemaninya dengan berjongkok di sampingnya.

"Apakah kau sudah makan?" Entah keberanian darimana, mungkin saja karena Jeonghan merasakan ada kemiripan tidak kasat mata antara dirinya dan sosok di sampingnya ini, ia malah menanyakan hal tersebut kepada orang yang bahkan belum ada lima menit ia ajak berbicara. Sosok di sampingnya pun menggeleng perlahan, kemudian ia menggigit bibir bawahnya, menunjukkan bagaimana ia gugup sekaligus ragu untuk menjawab pertanyaan dari Jeonghan.

"Di dekat sini ada minimarket, apakah kau mau makan ramyeon denganku di sana? Atau yang lainnya, kau dapat membeli makanan yang kau suka di sana." Jeonghan kembali tersenyum, berusaha untuk membangun energi positif agar tidak menakuti sosok yang kini terus menatapnya. Perlahan, pemuda itu menggerakkan tangannya, menunjukkan bagaimana lebam di pergelangan tangan, lengan, dan beberapa luka di jemarinya. Jeonghan yang menangkap sinyal dari pemuda itupun tersenyum lagi sembari mengangguk. "Aku mengerti. Kalau begitu, tetaplah di sini, oke? Aku akan kembali dengan beberapa makanan dan obat." Jeonghan kemudian berdiri, menatap pemuda itu sebelum berbalik dan berjalan ke luar dari gang, menuju ke minimarket terdekat.

The Time Between Dog and WolfTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang