(06) Balas dendam terbaik?

9 1 0
                                    

"Kenapa baru cerita sekarang?"

"Zan sibuk tau, terus juga kemarin ada kejadian Aluna."

"Sekarang kan gak sibuk lagi berarti harus cerita semuanya."

"Iya."

Jafia menceritakan semuanya, Fauzan hanya terdiam ada sedikit rasa iba dihatinya. Memandang Jafia dengan penuh bangga, walaupun dia jauh dari Ayah kandungnya Jafia masih menganggap bahwa dirinya memiliki seorang Ayah.

Bahkan setelah ribuan kali disakiti, mungkin ada rasa sakit yang teramat menyakitkan yang bercampur rasa rindu. Sekalipun dirinya mengatakan sang Ayah itu jahat.

"Fiaa! Gavin ternyata punya cewe," cetus Tasya mengagetkan mereka.

"Tau dari mana, Kak?"

"Tadi pas mau ke perpustakaan dia lagi duduk sama cewek, nyesek. Mana kayak akrab banget lagi."

"Serius? Terus sekarang gimana? Mau nyerah?"

"Em, mau gimana lagi," pasrah Tasya.

"Gitu aja kok nyerah tikung dong dan belum tentu juga tuh cewek pacarnya Gavin, Tasya," timpal Nura.

"Mereka deket banget, Nura."

"Tuh liat Jafia sama Fauzan aja deket, tapi mereka cuma temen kan?"

"Bentar lagi juga jadi pacar," timpal Fauzan.

"Hah?!"

Dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan semua orang seketika terdiam menanggapi perkataan Fauzan barusan. Apa Fauzan selama ini memiliki prasaan terhadap Jafia?

Nura, Tasya, Jafia saling pandang, ketika mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing, tiba-tiba Aira membuyarkan lamunan mereka. Berdiri dihadapan Jafia dengan menyilangkan tanggan yang seolah menantang.

Dengan tubuhnya yang kecil ini malah terkesan lucu, Aira sekilas melirik Fauzan.

Fauzan dan Aira ini teman sedari kecil, hubungan mereka renggang karena Fauzan lebih dekat dengan Jafia ketimbang Aira. Ini memunculkan rasa cemburu dihatinya.

"Temennya orang utan lagi pada ngumpul nih. Eh, enggak kurang satu sih yang culun-culun itu kemana tuh?"

"Biasa aja dong ngeliatnya gak usah kayak gitu, tau kok Aira cantik," sambungnya.

"Dih, pede gila lo. Ngapain lo ke sini?" Tanya Nura.

"Gua mau ngomong sama Fauzan."

"Ayok!" Sela Fauzan menarik pergelangan tangannya.

Tiba-tiba Aluna datang menghampiri  mengejutkan Tasya, Nura dan Jafia yang sedang melihat kepergian Fauzan bersama Aira.

"Eh, Btw gimana keadaannya Kak Affar?" Tanya Tasya.

"Kata, Tante Rani sih kemarin udah baikan. Gimana kalo kita jenguk, Kak Affar?"

"Ayok!" Semangat Aluna.

"Waduh, semangat banget, ya, kalo soal Affar," goda Nura menyenggol bahu Aluna.

Belum sempat Aluna menjawabnya, semua orang tertawa melihat tingkahnya itu.

Saat di perjalanan menuju rumah sakit Jafia tak sengaja melihat sang Ayah bersama anak tirinya seperkian detik rasa iri memenuhin isi hatinya, di sana gadis itu terlihat begitu bahagia bersama sang Ayah dengan membawa beberapa paperbag.

Sedangkan dia tak pernah merasakan hal seperti itu, diperhatikan saja tidak pernah bahkan melihat Ayahnya peduli pun sama sekali gak pernah, lagi-lagi selalu tentang anak tirinya dengan semua rasa khawatir, cemas ataupun rasa sayang yang ia punya.

"𝘈𝘵𝘢𝘴 𝘩𝘪𝘭𝘢𝘯𝘨𝘯𝘺𝘢 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯 𝘴𝘦𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘢𝘺𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘬𝘶 𝘬𝘢𝘯 𝘬𝘶𝘱𝘢𝘴𝘵𝘪𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘢𝘵𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘪 𝘯𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘪 𝘬𝘦𝘤𝘪𝘭𝘬𝘶 𝘵𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘳𝘢𝘴𝘢𝘬𝘢𝘯 𝘩𝘢𝘭 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘢𝘮𝘢. "

"𝘉𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬? 𝘛𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘯𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢 𝘣𝘢𝘭𝘢𝘴 𝘥𝘦𝘯𝘥𝘢𝘮 𝘪𝘵𝘶 𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘬𝘦𝘤𝘶𝘢𝘭𝘪 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘶𝘢𝘵 𝘥𝘪𝘳𝘪𝘮𝘶 𝘭𝘦𝘣𝘪𝘩 𝘣𝘢𝘪𝘬 𝘭𝘢𝘨𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘭𝘶𝘮𝘯𝘺𝘢."

~𝘐𝘯𝘪𝘴𝘩𝘢 𝘑𝘢𝘧𝘪𝘢

Kala itu—ketika suara teriakan pun dengan bantingan barang mengenai dinding-dinding rumah, dimalam yang terasa panjang pertengkaran orang tua semakin kalap. Jafia yang masih berusia tujuh tahun itu dengan rasa campur aduk di atas kasur seorang diri, memegang erat bantal yang kian terasa semakin basah.

"Bu, Fia takut, Bu," lirih Jafia semakin tenggelam dilautan air mata.

Teringat masa itu Jafia hanya bisa tersenyum dengan tetesan air mata yang jatuh tanpa aba. Dari dalam jendela mobil di persimpangan jalan tepat di lampu merah Jafia memperhatikan setiap orang, matanya tak sengaja melihat seorang pria duduk seorang diri dengan ditemani secangkir kopi dan buku.

Dengan dikelilingi anak-anak kecil, sepertinya ia sedang membacakan sebuah  dongeng, di sana terlihat wajah antusias dari masing-masing anak. Ada yang seperti kebingungan, penasaran, penantian, begitupun sepertinya ada juga yang tidak mengerti apa yang dimaksud.

Seperkian detik senyumnya kembali muncul merekah.

"Fia kenapa?" Tanya Aluna.

"Eh, enggak, Lun."

"Jangan bohong, liatin siapa tuh sampe senyum-senyum gitu."

"Atau jangan-jangan lagi bayangin Fauzan nih?" Timpal Nura.

Serempak semuanya berdeham, lalu dilanjutkan dengan tawa. Tak terasa Taxi yang mereka tumpangi sudah berada di kawasan parkiran RS. Sedangkan Tasya sudah menunggu sedari tadi ia menaiki sepeda motor miliknya sementara Nura, Jafia dan Aluna menaiki Taxi.

"Nura sini!" Panggil Tasya sambil melambai-lambaikan tangannya.

"Udah lama di sini, Kak?"

"Lumayan lah, ayok masuk di sini panas!"

Kala ingin hendak memasuki ruangan Jafia tak sengaja menabrak seorang pria bertubuh tinggi membuat buku yang dipegang sang pria berserakan dilantai.

Sepertinya ia tak asing dengan pria itu, tiga buah buku dongeng anak-anak dan ada satu lagi sepertinya buku catatan.

"Aduh, maaf-maaf gak sengaja, Kak," ucap Jafia sambil memunguti satu persatu buku yang terjatuh.

"Gakppa, lain kali lebih berhati-hati lagi," jawab sang pria seraya langsung melewati Jafia.

"Pria aneh," timpal Nura secara pelan. Namun, masih bisa didengar Tasya.

"Eh, ayok-ayok masuk Aluna udah gak sabar tuh pengen ketemu, Kak Affar hha," ajak Nura seraya sedikit terbahak.

"Sutt jangan berisik ini di Rumah sakit, Nura! Ayok masuk deh," potong Tasya.

Primeiro AmorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang