AKU menghela nafas frustasi untuk keseratus kalinya, atau lebih. Aku memijat pelipisku untuk meredakan pening yang bersarang di kepalaku. Aku melirik kearah lembaran soal itu lagi, otakku demam."Serius? Kita coba lagi." Amer memutar lembaran soal yang penuh dengan simbol-simbol dan angka tidak beraturan itu. Bagus, sekarang ia ikut berpikir. Pasti dia heran kenapa hasilku 'satu juta dua ratus lima puluh empat ribu sembilan ratus delapan puluh.' sedangkan miliknya 'negatif lima'. Perbedaannya bagaikan langit dan bumi.
"Sudahlah kak, waktunya sebentar lagi akan habis." Aku mengangkat lembar kertas yang sembilanpuluh persen soalnya belum terjamah seraya perlahan berdiri. Tapi Amer mencengkramnya erat seakan akan kertas itu merupakan hidupnya. Ia menatapku tajam dan mengatakan, "Kau meragukan prefek?"
"Tidak..."
"Duduk." Mendengar titahnya aku segera duduk manis kembali di tempatku, menunggunya membuka mulut lagi. "Karena rumus awal tidak berhasil, kita gunakan rumus yang kedua."
"Siap." Aku meraih catatanku, kemudian membukanya. Oh, sial. Aku lupa mencatat rumusnya. Melihat kondisi ku Amer meraih buku catatannya dan meminjamkannya kepadaku, betapa pekanya dia. Aku sudah berhutang banyak kepadanya.
Terutama ketika pagi tadi.
______________________
Sudut pandang orang ketiga :
Ketika penunjuk waktu sampai pada angka tiga, aku dibangunkan dengan kasar oleh seorang senior. Awalnya kukira ada gempa atau tsunami mampir, rupanya para siswa siswi diperintahkan untuk mencangkul di pagi hari, ralat, subuh.
Bayangkan, subuh subuh disuruh mencangkul, parahnya lagi disuruh mencangkul tanah satu hektar. Satu. hektar! Dan wajib selesai siang ini. Kalau deadline petang, sih, aku masih bisa maklum tapi siang hari?!
Sekarang aku mulai bersalah dengan para jendela yang telah kucampakkan.
Udara dingin menusuk pori pori kulitku, membuat udara hangat dari nafasku mengepul diudara akibat proses kondensasi uap air yang terkandung dalam udara hangat yang kusimpan di paru-paruku. Aku masih setengah tidur ketika tanganku bergerak lemas mengolah tanah. Menancapkan mata cangkul kedalam tanah kemudian mengayunkannya kesamping untuk membalik dan menggemburkan tanah, proses itu kuulang secara berkala dengan ogah-ogahan.
Aku akhirnya menyelesaikan barisku, memperbolehkanku untuk istirahat dan berleha leha di kamar---penginapan---sembari menyesap teh hangat di ujung kasur tidak lupa mengencani bantal fluffy penginapan. ANDAI, seekor senior tidak mentitahku untuk menyelesaikan barisan seorang senior lain yang terbaring---nyaman---di unit kesehatan. Ketika aku hendak menolak dia mengatakan, "kata pak Wahlberg kami boleh menyuruhmu sepuas kami."
Aku reflek menggendong cangkulku, bersiap membereskan baris yang barusan ditugaskan.
Nasib baik ada Amer yang bersedia membantuku. Aku sudah salah sangka mengiranya orang jahat berhati dingin karena tampangnya sebelas duabelas seperti pelaku penjualan bakso boraks yang viral di media sosial.
Setelah aku selesai membereskan baris yang ditugaskan---dibantu oleh Amer---aku segera berbalik badan, hanya untuk mendapati seorang senior lain dengan surai coklat bernama Maximum(?)---aku sengaja menandainya kuat kuat karena perintahnya paling menyebalkan---memperintahkanku untuk mencangkul dua baris penuh sekaligus. Kaliini aku benar benar menolak dengan keras tetapi aku langsung mengerjakannya ketika Maximum berkata, "pak Wahlberg bilang, 'kalau (name) menolak dia harus piket membersihkan penginapan setiap hari, nonstop, full duapuluh empat jam'."
Gini amat.
Aku menoleh kearah Amer yang masih setia membantuku. Aku berucap, "Padahal tidak perlu sampai repot-repot begini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Unique | Mashle × Fem!reader
Fanfiction[HIATUS] Hidup (Name) kacau sebelum memasuki dunia mashle, berpetualang dan bertemu dengan orang orang baru membuatnya mengalami pengalaman yang berharga. ! Mashle bukan milik saya ! Saya hanya meminjam karakter yang ada di mashle ! Alur cerita t...