Hari ke-C : Terlalu Sayang

55 8 1
                                    

Oktober 2017

Manusia terlahir dengan dikaruniai akal dan perasaan. Yang membuat kita dinobatkan sebagai makhluk ciptaan Tuhan paling sempurna di jagad raya ini. Setiap aktivitas akal terkontrol di dalam otak. Bekerja dengan sistem yang tak sederhana, melalui rekasi-reaksi kimia yang cukup rumit di dalamnya. Menerima rangsang yang kemudian diterjemahkan menjadi berbagai hal. Meski berpredikat sebagai makhluk yang berpikir, tak jarang kita dibuat tak habis pikir oleh perasaan kita sendiri. Dibingungkan oleh tindakan dan keputusan yang meng-atas namakan perasaan. Sesekali menepis setiap logika yang dihadirkan akal sehat. Dalam situasi tertentu, langkah kita berjalan sesuai perasaan tanpa pemikiran. Bukan kerena ingin melupakan akal. Namun kadang kala, akal butuh waktu cukup lama untuk paham maksud perasaan. Sejatinya tak ada yang salah dengan setiap perdebatan antara akal dan perasaan. Toh pada akhirnya, akal lah yang membentuk manusia menjadi sebagaimana mestinya. Dan perasaan, kemudian menciptakan manusia yang seutuhnya.

Meski kemudian sering kali perasaan ini lah yang membuat hidup ini menjadi sedikit kurang sehat. "Perasaan tidak enak dengan seseorang", "Perasaan meyukai kekasih sahabat sendiri", "Perasaan terlalu sayang pada sesuatu", dan banyak lagi perasaan-perasaan lain yang tak menyehatkan di tepian hati manusia. Baiknya, perasaan sendiri tak sepenuhnya seegois itu. Karenanyalah manusia memiliki empati. Memiliki sebagian ruang dalam hati di samping kepentingan diri. Mengerti bahwa terus menerus sendiri juga perlu dihindari. Bahwa hidup memang berlangsung dengan membutuhkan dan dibutuhkan, mengasihi dan dikasihi, merindukan dan dirindukan. Yang ujungnya membentuk insting untuk manusia melindungi sesuatu yang mereka sayangi. Sampai-sampai merasa begitu kehilangan ketika benar-benar ditinggalkan.

Mungkin itu salah satu alasan tuhan menciptakan kematian. Agar manusia tak terlalu banyak menyayangi sesuatu dan agar manusia tidak terlalu banyak menjumpai kehilangan yang menyedihkan. Aku rasa kematian tak seburuk itu. Bukankah kematian lebih baik dari pada harus hidup abadi dengan perasaaan. Otak manusia memiliki kapasitas dengan batasannya. Mungkin dengan semakin sedikit kehilangan akan lebih menyehatkan.

Perdebatan dengan dia yang aku sayangi bukanlah hal yang aku rencanakan sebelumnya. Itulah mengapa aku sedikit mati langkah menghadapinya. Ditambah lagi, ini adalah debut pertamaku terjun langsung di dunia asmara remaja. Aku masih layaknya anak magang yang harus banyak mengumpulkan catatan dari pendamping lapangan yang lebih berpangalaman. Sejauh ini aku masih perlahan mengumpulkan saran dan referensi dari kawan-kawanku yang sudah lebih kaya akan jam terbang. Ternyata, selama ini mendengarkan cerita dan memberi saran jauh lebih mudah dari pada harus menghadapi masalahnya secara langsung. Namun, alih-alih cepat-cepat menyelesaikan masalahku dengan Dara, aku justru berencana melarikan diri sementera. Sebentar saja memberi jeda dari hal-hal yang masih berusaha kupahami. Mungkin bercengkrama dengan pelukan alam adalah pilihan yang tepat.

Siang itu di kantin dekat lapangan sekolah, beberapa kawan berkumpul. Di tengah-tengah gorengan dan es teh yang kami pesan, akhir pekan ini kami merencanakan pendakian ke Gunung Arjuno yang berkedok refreshing pasca menuntaskan ujian tengah semester kali ini. Rencana kali ini terdengar luar biasa bagiku. Terlebih untukku yang belum pernah menjajaki perjalanan menapaki kaki gunung semenjak keinginanku mendaki waktu masih duduk di bangku SMP. Kala itu, aku dipameri beberapa foto perjalanan kakak sepupuku yang merayakan kelulusan SMA nya dengan mendaki Gunung Semeru. Melihat pesona sapuan embun tipis dengan cahaya pagi di Danau Ranu Kumbolo, membuatku tergugah untuk datang dan menikmati langsung lukisan tangan Tuhan itu suatu saat nanti.

Di kelompok kami, mereka yang tidak antusias ketika mendengar rencana pendakian gunung, dianggap memiliki jiwa pemuda yang kurang waras. Bukan apa-apa, ejekan itu hanya untuk memancing agar semua mau tergabung dalam perjalanan ini tanpa terkecuali. Ya meski pada akhirnya beberapa tetap lebih memilih dianggap tidak waras dengan tidak ikut serta dalam pendakian ini. Sebagian dari mereka yang memilih tidak ikut, sebenarnya ada hasrat untuk berangkat pergi mendaki. Hanya saja mereka tidak cukup percaya diri dengan kamampuan fisiknya yang saat ini. Dan lebih khawatir akan merepotkan kawan-kawan lainnya di sepanjang perjalanan nanti. Sisanya lagi, memilih tidak ikut karena memang mereka belum menemukan hal yang menarik yang pantas untuk diperjuangkan di atas sana. Sebenarnya bebas-bebas saja. Mungkin refreshing juga serupa dengan makanan ataupun karya seni. Dimana setiap orang juga bebas dengan seleranya masing-masing.

Menyedihkannya tak semua dari kami yang memutuskan berangkat bersahabat baik dengan kedua orang tuanya. Sebagian ada kecenderungan sulit untuk mendapat restu, termasuk diriku. Tak bisa dipungkiri, restu orang tua dalam pendakian menjadi begitu penting untuk bocah seumuran kami. Ya syukur-syukur dapat tambah ongkos selain hasil tabungan uang jajan satu semester. Itulah mengapa persetujuan dari kedua orang tua menjadi syarat dalam perjalanan kali ini. Sebelumnya aku sudah paham. Memang akan diperlukan sedikit perjuangan dan perdebatan untuk ikut dalam pendakian. Tapi entah mengapa, ada keyakinan bahwa argumenku akan berhasil memenangkan restu dari mereka, terutama Bapak. Meski dari statistik selama ini kemungkinan itu sangat kecil untuk terjadi, tetap saja harus dilakukan. Karena bagiku, mencoba tidak pernah menjadi saesuatu yang sia-sia.

Pasca sholat Maghrib, dengan beralaskan karpet, Bapak duduk bersila di depan TV ruang keluarga. Kubiarkan dulu beliau menyelesaikan tayangan kabar petang di TV One tentang ditetapkannya Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi KTP Elektronik, Setelah iklan menghentikan serangkaian berita terkini yang beliau saksikan, masuklah aku membuka pembicaraan. Kuceritakan semua tentang rencana di kantin tadi siang. Dari mulai berangkat pukul berapa, naik apa, dengan siapa, dan detail-detail lain yang mungkin saja untuk diperdebatkan. Baru setengah jalan aku bercerita, Ibu datang dengan membawakan sepiring makan malam untuk bapak. Melihat raut wajahku yang mungkin terlihat tak santai, ibu paham ada hal serius yang sedang kami bicarakan. Lantas beliau memilih menunda untuk kembali ke dapur dan ikut duduk di samping Bapak menyimak kelanjutan rencanaku. Sembari melahap suap demi suap masakan Ibu, Bapak lanjut mendengarkan rentetan rencanaku. Sesekali suapannya terhenti saat menurut beliau ada yang tak masuk akal dari potongan rencanaku. Ketika beliau bertanya, aku hanya menjawab sebatas yang kutahu dan sesuai dengan apa yang sudah kami bahas di kantin tadi. Ternyata, semua detail tuntas kusampaiakan sebelum Bapak selesai dengan makan malamnya. Setelahnya, aku sedikit bisa bernafas lega dan mengalihkan pandanganku ke layar TV sembari menunggu beliau selesai dengan makan malamnya.

Tertebaknya, tentu tak semudah itu beliau memutuskan. Selalu ada sesi "mentoring" sebelum terjadinya keputusan. Entahalah.. Mungkin supaya aku masih merenungkan pesan-pesannya dan tak membiarkan otak ini kosong sepanjang perjalanan—jikalau proposalku sore ini disetujui.

Tak lama kemudian keputusan telah diambil. Dan ketidak jadianku berangkat adalah hasil akhirnya—meski beliau tak terang-terangan mengatakannya. Menurut beliau rencana ini terlalu berisiko. Terlebih untuk aku yang belum pernah tau tentang gunung. Tentang rute perjalananya, jika tersesat bagaimana, apa yang harus dilakukan jika terjadi seuatu dengan kawan di tengah pendakian. Begitulah sederhananya. Lantas bagaimana aku bisa mengenal semua itu jika aku tidak memulainya? Mau sampai kapan? Pertanyaan itu terngiang di kepalaku. Aku muak sejadi-jadinya sore itu. Meninggalkan beliau yang entah merasa bersalah atau tidak atas keputusannya. Atau mungkin aku yang tak paham pemikiran orang dewasa. Aku paham beliau khawatir terjadi apa-apa di tengah perjalanan. Intinya karena beliau peduli padaku. Tapi entah mengapa aku yang mengaku telah dewasa ini merasa ini bukanlah cara yang tepat.


Tak ada yang keliru dengan terlalu sayang pada sesuatu

Tapi coba renungkanlah

Apakah caramu menyayangi sudah benar?

Hari ke-C

Siklus RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang