Hari ke-F : Kau dan Caramu Mencintaiku

37 8 0
                                    

April 2018

Sebelum kembali pulang, aku mengajak Dara berhenti di beberapa tempat. Hanya sekedar untuk membeli es krim dan lebih banyak mengobrol dengannya. Aku berniat menggali lebih dalam tentangnya, tentang mimpi-mimpi lain yang membentuk dia menjadi wanita dengan karakter se-ambisius ini. Sedikit banyak aku mulai bertanya tentang dirinya, tentang jadwal lesnya, tentang kesibukannya di akhir pekan, tentang sesuatu yang tidak dia sukai, dan hal-hal kurang penting lainnya. Sambil melahap es krim di genggamannya dia menjawab satu per satu pertanyaanku dengan polosnya. Yang cukup mengherankan, dia termasuk golongan orang yang membenci keramaian. Bahkan dia bisa sampai sakit kepala jika harus berlama-lama menetap di tengah keramaian. Bagaimana bisa seseorang dengan jejak organisasinya yang tak sedikit adalah orang yang tak suka keramaian.

Namun begitulah dia. Dia dan dirinya yang sebenarnya. Setelah aku mendengar jawaban-jawabannya, aku merasa kita berdua cukup kontras untuk prinsip dan kebiasaan. Aku yang lebih suka tidur malam tepat waktu, dan dia yang lebih memilih begadang membaca apapun itu. Dia yang menjunjung tinggi izin pada orang tua sebelum bepergian, dan aku yang mulai masa bodoh dengan hal semacam itu. Selama beberapa menit percakapan dengan didengarkan dua cup es krim di masing-masing tangan kami, Dara benar-benar pasif. Dia cenderung diam dan seakan sedang merencanakan pertanyaan untuk serangan baliknya. Yang entah akan diluncurkan kapan.

Di atas motor dalam perjalanan pulang, aku sadar langit di atas kami sudah mulai tak bersahabat. Mulai berbentuk seperti tumpukan roti sobek abu-abu yang siap mengguyurkan hujannya kapanpun dia ingin. Aku mulai menaikkan kecepatanku. Tak peduli sudah berapa kali tangan Dara memukuli helmku, hingga berhenti dengan sendirinya karena aku tak mempedulikannya. Setelah aku merasa sedikit aman, karena arah mendung mengikuti hembusan angin yang bergerak berlawanan dengan arahku pulang, aku mulai memperlambat laju motorku sesuai batasan yang dihendaki Dara. Cengkraman kedua tangannya di pundakku pun perlahan melemah seirama dengan melambatnya laju motorku. Di jalanan yang mulai teduh, aku teringat satu pertanyaanku yang tertinggal. Pertanyaan bab cinta pertama Dara di masa lalu. Prihal laki-laki lain yang memenangkan hatinya sebelum aku.

Dara pernah sekali membahas ini denganku. Dari ceritanya saat itu, ada bagian yang rumpang di penghujung kisahnya. Dan ketika di hari lain aku berusaha memancing agar Dara bercerita lebih lengkapnya, ia selalu berhasil melarikan diri dengan topik baru buatannya.

Cinta pertama Dara adalah kawan sekelasku selama tiga tahun di SMP. Dan ketika SMA, dia memilih melanjutkan sekolah ke luar kota. Raka adalah anak yang tenang. Dia hanya berbicara seperlunya namun selalu terlibat dalam keseruan-keseruan yang terjadi di kelas. Rumahnya yang tak terlalu jauh dengan sekolah, membuat Raka juga terbiasa bersepeda untuk pergi ke sekolah sambil meneteng tas gitar di salah satu tangannya. Uniknya, tak seperti kebanyakan murid bersepeda lainnya—yang justru menjadikan sepeda sebagai alasan mereka datang terlambat, Raka justru tak pernah masuk dalam daftar murid-murid langganan telat. Ia selalu tiba satu jam sebelum bel jam pertama sekolah berbunyi. Selain mahir mengalunkan nada lewat petikan-petikan dawai gitarnya, dia juga masuk dalam tim inti futsal sekolah kala itu. Meski belum pernah sampai menjuarai satu kompetisi pun, tapi dia termasuk yang paling menonjol dari seluruh tim saat itu. Suatu ketika, Dara rela melewatkan sarapan paginya di rumah, dan memilih membawanya sebagai bekal hanya untuk tiba di sekolah lebih pagi dari pada Raka. Hari itu adalah hari ulang tahun Raka. Dara berencana memberi Raka hadiah misterius dalam bentuk coklat tanpa identitas ataupun inisial pengirimnya. Dan benar saja. Dara berhasil tiba di sekolah lebih awal dan meletakkan coklatnya itu di bawah laci meja Raka.

Sebatas itulah penggalan kisah yang kudengar dari Dara. Yang herannya aku tak pernah mendengar cerita itu dari Raka meski tiga tahun aku sekelas dengannya. Apakah memang tak terjadi apa-apa setelah itu? Ataukah sebenarnya kisah mereka sempat berlanjut? Aku tak pernah tahu kelanjutan cerita mereka. Apakah Dara sempat menyatakan perasaanya? Apakah cinta Dara berbalas? Mungkin mengungkit masa lalunya saat kini dia sudah menjalani hubungan denganku, terkesan kurang dewasa. Namun apakah aku bisa sepenuhnya di hati Dara, saat ada tarikan perasaannya di masa lalu yang belum terselesaikan.

Saat tanpa pikir panjang kuberanikan diri meluapkan seluruh pertanyaanku, di waktu bersamaan aku berharap Dara sedang dalam mood yang bersahabat. Sehingga Dara tak terbawa emosi dan berakhir merusak momen istimewa seharian yang kami lewati. Tak lama, Dara mengajakku berhenti dahulu di taman baru milik pemerintah kota di bawah jembatan yang menghubungkan kota akibat sungai yang membentang begitu luas. Aku meminta Dara untuk duduk sejenak di bawah gazebo yang tak terlalu dekat dengan tepi Sungai, sembari menunggu aku membeli air mineral di supermarket seberang jalan. Sekedar berjaga-jaga, barangkali menceritakan ini akan menjadi hal berat untuk Dara, dan air mineral pasti cukup membantu untuk menetralisir gejolak emosinya nanti.

Saat mataku mulai menemukan sosok Dara dan langkah demi langkahku yang mulai menuju ke arahnya di tepian sana, entah kenapa hatiku gelisah. melihat senyumnya dan tangngannya yang melambai ke arahku. Mendadak aku merasa tak siap mendengar jawaban dari pertanyaan yang kulemparkan sendiri. Bagaimana jika karena ulahku, Dara teringat kembali akan masa lalunya yang belum sempat usai. Dan kemudian malah memilih menempatkan kata "usai" di antara aku dengan dia. Tersisa beberapa langkah dari hadapan Dara, sebisa mungkin kutenangkan diriku. Sembari berharap imajinasiku tak semudah itu menjadi kenyataan, Segera aku duduk di samping Dara dan menyodorkan sebotol air mineral yang telah kubuka untuknya. Setelah beberapa teguk air membasahi tenggorokannya, Dara duduk tenang memandang rimbun pepohonan di balik derasnya sungai. Mungkin juga sembari menghitung kawanan burung yang beterbangan saling mengejar satu sama lain. Cahaya jingga di penghujung sore menerobos masuk menerpa sebagian wajah Dara. Sungguh perpaduan yang sempurna, Dara dan senja. Lagi-lagi aku tak siap kehilangan pemandangan seindah ini, secepat ini. Dara mulai bercerita..

Kali ini dia menghadapi pertanyaanku. Tak mencoba selangkahpun melarikan diri untuk yang kesekian kali. Dara membenarkan spekulasiku. Ada kisah yang belum usai dari masa lalunya. Ada rasa yang terpaksa diikhlaskan sebelum sempat untuk tersampaikan. Antara Raka dan Dara, terbentang dinding yang memisahkan mereka. Tak terlalu tinggi, namun cukup melelahkan. Dia tak siap menghadapi samua itu. Berbulan-bulan Dara menyembunyikan apa yang ia rasakan. Dan butuh berbulan-bulan pula bagi Dara sebelum akhirnya memutuskan untuk merelakan.

Kini pandangan Dara berputar menatap ke arahku. Tak lama, giliran Dara menyodorkan botol air minum yang dipegangnya untuk segera kuteguk. Dia menyadari aku sedang tak baik-baik saja di sampingnya. Mungkin terlalu jelas dari raut wajahku kalau aku terlalu tegang mendengar cerita Dara. Kuteguk air di tanganku, dan lanjut mendengarkan Dara yang belum selesai dengan penjelasannya.

Bukankah setiap manusia bermasa lalu. Manusia yang saat ini, dibentuk oleh masa lalu yang mereka jalani. Dari kisah-kisah yang mereka percaya, dari diksi yang mereka dengar, dari luka yang mereka obati. Karenanya, setiap manusia tidak pernah berhak untuk menghakimi bagaimana manusia lain menghargai masa lalunya. Begitu pula Dara. Raka adalah beberapa diksi dari berjuta kata yang pernah Dara dengar. Karena kadangkala hati tak diberi kesempatan untuk bisa memilih menjatuhkan diri kepada siapa. Dara memintaku agar memahami bagaimana kondisinya kala itu. Beberapa jatuh hati terkadang memaksa hati itu untuk berdiri sendiri. Untuk kemudian dengan terpaksa melangkah lagi, hingga akhirnya bertemu hati lain yang dirasa tepat untuk dijatuhi. Kini Dara mempercayaiku sebagai kisah yang ia percayai. Sebagai diksi indah di penghujung bait puisinya. Dan sebagai penawar dari luka yang sempat ia biarkan terbuka. Dara menjelaskan semua itu kepadaku. Tak ada celah bagiku untuk tak mempercayai setiap kata yang begitu tulus terdengar dari mulutnya. Dara beranjak berdiri menggenggam tanganku. Ketika mata ini berusaha memastikan bahwa benar tangan Dara manyambut tanganku, tiba-tiba satu kecupan bibirnya mendarat di pipi sebelah kiriku tanpa kusadari. Seketika aku hanya tercengang menatapnya yang sedang tersenyum tepat di hadapanku. Untuk yang kesekian kali, senyum yang melengkungkan kedua matanya itu, membuatku semakin percaya. Bahwa Tuhan adalah seniman terbaik yang pernah ada.


Dengan kuterima kau apa adanya

Secara tak langsung,

Kutawarkan padamu untuk perbaiki dirimu bersama.

Hari ke-F

Siklus RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang