Hari ke-H : Tulisan dan Nyawanya

29 8 0
                                    

Mei 2018

Dengan asap yang bergulung-gulung mengudara, nasi putih panas di hadapanku masih menunjukkan ke-egoisanya. Membuatku harus lebih bersabar meniup-niupnya dengan angin yang lembut seperti anak berumur tiga tahun yang harus memadamkan lilin di kue ulang tahunnya. Dengan mengenakan setelan pramuka, sarapan pagi ini dikawani telur dadar sederhana dengan siraman sambal kacang yang tak terlalu pedas dan kepyuran bawang goreng di atasnya. Jumat ini memang aku tak harus terburu-buru untuk berangkat ke sekolah. Karena untuk anak kelas tiga yang sudah menyelesaikan ujian, kami diberi kelonggaran untuk keluar-masuk sekolah asalkan tak mengganggu ketertiban kegiatan belajar-mengajar kelas lain. Dan hari ini—setelah terakhir kali aku masuk sekolah adalah hari senin, yaitu empat hari yang lalu—adalah jadwal kelasku dan beberpa kelas lain untuk mengembalikan buku pinjaman dari perpustakaan yang sudah dua semester kami pinjam.

Sesampainya di sekolah dan memarkir motor, aku harus melintasi deretan kantin untuk sampai di kelas dan meletakkan tas beserta buku-buku ini. Dan seperti hari-hari biasanya, aku masih dibuat tak habis pikir dengan lapak kantin Bu Lis yang tetap saja ramai meski jam pelajaran tengah berlangsung. Padahal kami para siswa tahu dan sadar, bahwa kami hanya membayar untuk meneteskan keringat dan ingus akibat sambal racikan Bu Lis yang tak karuan pedasnya. Meski memang tak bisa dipungkiri, cita rasa kenikmatan sambal itu yang menciptakan adiksi tersendiri bagi kami para siswa. Saat beberapa langkah lagi aku tiba di depan kelas, tiba-tiba Pak Eko guru Bahasa Inggrisku keluar dari kelas yang berada di seberang kelasku dengan diikuti dua siswanya. Seperti siswa yang ber-etika pada umumnya, aku berlari menghampiri beliau untuk menyapa dan sekedar salim kepadanya. Beberapa detik kemudian, aku membuka obroalan basa-basi untuk mengharmoniskan pertemuan singkat ini. Di luar dugaan setelah mengobrol singkat, beliau merespon obrolanku dengan pertanyaan yang mungkin baginya juga basa-basi belaka. Tetapi aku merasa terpojokkan dengan pertanyaan beliau mengenai hasil seleksi universitas jalur undangan kemarin. Terlebih di hadapan dua adik kelasku yang tatapannya begitu membebaniku. Sorot mata mereka seakan memancarkan ketertarikannya dengan cerita keberhasilanku. Aku merasa begitu sial detik itu juga. Mungkin akan lebih baik jika aku tak sok-sok an menjadi murid "ber-etika" dan memilih tak mengacuhkan sosok beliau yang baru keluar dari kelas. Dengan sedikit terbatah-batah, aku menyampaikan kebenarannya. Aku harus berpura-pura tegar dengan bersembunyi di balik kata-kata "belum rejeki" yang aku sampakan kepada beliau. Setelah suasana mulai hening, aku merasa lega ketika beliau akhirnya berpamitan untuk mempersiapkan kedua muridnya itu mengikuti kompetisi debat Bahasa Inggris minggu depan. Setelah pertemuan ini, untuk kesehatan psikisku, mungkin aku akan menghindari berinteraksi dengan para guru. Setidaknya, untuk hari ini.

Lebih dari satu jam sudah aku dan kawan-kawan berada di kelas menunggu giliran dipanggil ke perpustakaan untuk pengembalian buku. Sebenarnya kami bukan tidak betah lama-lama di sekolah, ataupun ingin buru-buru pulang agar bisa segera rebahan di kamar masing-masing. Toh kami di kelas pun juga mengobrol, bermain, dan bersenang-senang. Hanya saja untuk beberapa dari kita, waktu seperti ini akan lebih berarti jika digunakan untuk lebih mempersiapkan rentetan tes yang akan kami hadapi mulai bulan depan. Seperti beberapa kawan yang jadwal latihan fisiknya untuk persiapan seleksi anggota Bintara Kepolisisnya harus terganggu. Dan juga aku—yang menurut jadwal buatanku, jam sekarang ini adalah giliranku memperbanyak latihan soal TPA dari verbal, numerikal, dan juga figural. Tapi apalah daya diriku. Aku sudah terjebak di dalam kolam yang penuh dengan kesenangan dan canda tawa ini. Rasanya, tak ada pilihan lain selain terjun dan ikut menyelam di dalamnya. Kami sedang asik bernyanyi di pojok kelas dengan diiringi petikan-petikan melodis gitaris kelasku. Ketika memasuki overtone di lagu yang ketiga, seketika melodi-melodi itu senyap dari pendengaranku. Suara kor kawan-kawanku pun seolah teredam. Hanya terdengar jernih suara seorang gadis yang sangat aku kenal dari depan pintu kelas. Suara yang menggetarkan dadaku seolah membuatku rindu, entah kepada apa. Dia menyampaikan pemberitahuan bahwa sudah giliran kelasku melakukan pengumpulan buku ke perpustakaan. Dan benar saja, Dara sedang berdiri di sana, melakukan tugasnya sebagai mantan pengurus perpustakaan. Dalam waktu yang singkat, dia kembali lenyap dari radar pengelihatanku.

Siklus RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang