Hari ke-G : Logika Matematika

32 8 0
                                    

April 2018

Pagi-pagi sekali aku terbangun. Pukul empat pagi. Alarmku sudah berteriak menciptakan kebisingan untuk mencegahku kembali lagi mendarat di atas hamparan kasur yang begitu nyaman. Selepas mencuci muka, seperti biasa, aku harus lari pagi untuk menjaga kondisi tubuh. Atau setidaknya jikalau sewaktu-waktu terjadi bencana alam atau semacam perang dunia ketiga, aku bisa bergegas berlari menyelematkan diri. Karena belakangan sering diberitakan—beberapa kali aku tak sengaja mendengar saat bapak menyaksikan berita petang di televisi—bahwa terjadi konflik yang semakin memanas antarnegara adidaya : Dari isu perang dagang AS-China hingga memanasnya sengketa laut china selatan akibat klaim china atas teritorial itu. Entah itu hanya sepuluh atau dua puluh menit, berkeringat di pagi hari membuatku lebih bersemangat menghadapi apa yang akan terjadi di hari ini. Setelah kaos yang kukenakan terasa begitu becek dan lengket karena menyerap tetesan keringatku, aku mulai berjalan mengatur nafas yang sudah berhembus dengan ritme yang tak karuan. Sesekali aku duduk sembari mengistirahatkan kedua kakiku. Beberapa menit memandangi jalanan yang masih lengang, entah mengapa setiap pikiranku kosong tak terpakai, jagat ini selalu membawaku untuk mengingat Dara dan segala sesuatu tentangnya. Belum genap seminggu dari hari ulang tahunnya, serasa baru kemarin pipi ini merasakan lembutnya sentuhan bibir Dara meski hanya satu per sekian detik. Aku masih sangat ingat dengan adrenalin yang kurasakan saat itu. Bagaimana jantung serasa bekerja lebih keras mengalirkan darah ke seluruh tubuhku. Bersamaan dengan debar dada yang tak terkendali, untuk beberapa detik selanjutnya seluruh wajahku serasa lebih panas dari seharusnya. Untuk seumuran anak kelas tiga SMA, mungkin aku termasuk golongan bocah-bocah polos yang masih awam bersentuhan dengan keintiman-keintiman semacam itu. Dan aku juga masih tak tahu, harus menjadi bangga atau malah minder dengan keterlambatanku dalam hal semacam itu.

Namun itu semua hanyalah sisa euforia dari pertemuan yang kami ciptakan beberapa hari lalu. Di hari-hari selanjutnya, aku dan Dara hanya bertemu di sekolah, entah itu di kantin, berpapasan di koridor kelas, atau juga dalam pertemuan-pertemuan kegiatan extrakurikuler. Tak ada yang spesial dari pertemuan-pertemuan itu. Entah bagaimana, aku dan Dara seakan sama-sama sepakat untuk tidak menunjukan sesuatu yang spesial dari hubungan kami di area sekolah. Dan baru saja kemarin malam aku meminta Dara untuk berhenti menghubungiku dulu untuk sementara waktu, sampai aku menghubunginya kembali.

Sebenarnya kemarin adalah hari yang tak begitu buruk. Para burung masih berkicau dengan lagunya masing-masing, lapangan futsal sekolah masih saja ramai di tengah terik matahari yang tak pernah ingin berkompromi, dan Ibu Lis yang tetap saja hobi membuat keringat para siswa bercucuran dengan sambal resep andalannya. Segalanya masih berjalan normal untuk sementara waktu. Hanya butuh satu momen untuk membalik itu semua dan memporak-porandakan dunia yang tengah stabil ini. Aku baru ingat, bahwa sore ini adalah jadwal pengumuman penerimaan mahasiswa baru melalui jalur undangan. Jika saja salah seorang kawan tak meneriakiku yang tengah mengadu kaki di lapangan futsal sekolah, —kami memang terbiasa menyempatkan diri bermain bola, alih-alih untuk langsung pulang setelah kegiatan extra usai—aku pasti sudah melupakan betapa pentingnya hari ini. Sebetulnya aku cukup sadar diri. Aku sendiri tak pernah membayangkan, seorang anak yang seringkali mampir ke kantin atau bahkan lapangan futsal saat pelajaran kelas dirasa kurang menarik, bisa mendapat kesempatan untuk mendaftar lewat jalur undangan. Cerobohnya, berbekal ketidak percayaanku akan kesempatan ini, aku mulai menanamkan harapan yang luar biasa pada jalur ini. Mulai beranggapan bahwa ini semua jembatan Tuhan, Seolah jembatan ini akan baik-baik saja hingga seberang sana. Seolah tidak akan ada banjir bandang yang akan menerjang dan memutus jembatan ekspektasi yang telah aku ciptakan.

Sore itu matahari masih berpikir ulang untuk sepenuhnya menghilang dari muka langit. Sebagian darinya masih sukarela bernafas dan membagi sinarnya. Sedangkan aku, tanpa banyak pikir panjang lagi, segera keluar dari permainan, dan menuju sumber suara kawanku yang tengah duduk jauh di ujung lapangan di bawah pohon nangka mungil ini. Dari senyum yang kutangkap dari wajahnya, aku bisa menyimpulkan bahwa kawanku ini diterima di kampus pilihannya, meski entah di pilihan yang ke berapa. Dengan suasana hati berbunga-bunga, dia menawarkan padaku untuk membuka hasil pengumumanku di ponselnya. Seolah dia paham, kalau aku meninggalkan ponselku di dalam kelas. Dengan debar dada yang mulai tak terkondisikan, aku segera menuliskan nomor peserta registerasi lengkap dengan detail tanggal lahirku. Dan disana terlihat jelas, cukup sekilas saja. Beberapa detik berikutnya detak jantung yang sebelumnya tak terkendali mendadak seperti berhenti bekerja. Ribuan pori-poriku yang baru saja mengucurkan tetesan-tetesan keringatnya seakan menutup seirama, dan meninggalkan hawa dingin yang menyapu tipis lapisan atas kulitku. Untuk beberapa detik berikutnya, aku bertransformasi menjadi manusia kosong. Sayangnya, untuk kali ini tak ada Dara yang melintasi kekosonganku.

Suara kawanku perlahan terdengar semakin keras di telingaku. Dan benar saja, dia sedang memanggil-manggil namaku dengan menepuk-nepuk bahuku perlahan. Suaranya berhasil menarikku dari zona kosong yang kelam. Aku gagal, aku tak lolos. Tertulis jelas di layar "Anda dinyatakan tidak lulus SNMPTN 2018. Silakan mengikuti SBMPTN 2018" lengkap dengan cetakan tebal beserta warna merah di belakangnya. Kawanku mencoba untuk memahami kondisiku, mencoba menetralisir kecanggungan akibat ketimpangan hasil pengumuman seleksi kami. Tangan kirinya mencoba meraih bahu kiriku, lalu menepuknya perlahan dengan iringan kata-kata motivasi yang dia harap mujarab untuk sementara mendamaikan suasana hatiku. Aku paham, sejak awal salahku sendiri terlalu mempercayai sebuah harapan. Ternyata beberapa hal memang berhak mengecewakan dan memberi tamparan, layaknya hari ini. Aku kembali menatap langit. Disana, kujumpai sebagian dari matahari masih tetap saja menampakkan diri. Seakan sinarnya hendak menunjukan kepada dunia betapa muramnya raut wajahku sore itu. Aku merasa kehadirannya tak lagi berniat menerangi bumi, tetapi untuk menertawai aku dengan segenap rasa kecewa ini.

Karena itu, terhitung dari pagi ini aku harus mulai mengatur sendiri jadwal belajarku di sela-sela waktu longgar sekolah pasca ujian nasional. Berbeda dengan Dara yang sudah diterima kuliah lewat jalur undangan, aku harus berusaha lebih keras agar bisa lolos di jurusan favoritku lewat jalur tes. Ketika di satu sisi aku ingin fokus dengan tujuanku belajar dan diterima kuliah, di sisi lain aku juga pasti akan haus dengan mantra-mantra penyemangat dari Dara. Tapi keputusanku semalam sudah bulat. Aku harus memberi jeda pada intensnya hubunganku dengan Dara. Meski sejujurnya aku sendiri masih belum menemukan motif dari keputusanku yang terkesan tak demokratis ini. Apakah aku memang ingin berjarak dari Dara untuk lebih mendekat dengan rumus-rumus dan sistem periodik yang akan memusingkan kepala. Atau mungkin aku menciptakan jarak ini hanya untuk memberiku waktu agar menerima kenyataan, bahwa aku memang semakin kerdil di hadapan Dara yang begitu gigantik. Aku berusaha meyakini bahwa keadaanku ada di opsi yang pertama. Meski semalam Dara sempat mengeyel dan mendebatku mati-matian, namun pada akhirnya dia setuju. Dia berhasil menerjemahkan bahasa keterpurukanku ke dalam bahasa yang ia pahami. Untuk entah yang ke-berapa kali, Dara mampu memelukku tanpa sosoknya yang hadir di sampingku. Dengan suara parau dan sesekali beberapa kalimat seperti terhenti di tenggorokannya, dia memberiku semangat dengan setulus dan segenap sisa tenaganya. Sebisa mungkin aku menyambut semangatnya dengan ungkapan terima kasih, juga permintaan maaf sehangat mungkin. Aku tahu ini egois. Dan siapa bilang ini mudah untukku.

Bulan depan adalah bulan yang begitu penting untukku dan anak kelas tiga SMA pada umumnya. Ujian masuk universitas pilihan akan diadakan. Selain fokus belajar kami juga harus dibingungkan oleh regulasi penilaian yang tidak pasti dari Kementerian Pendidikan. Tentang apakah jawaban salah mendapat nilai minus atau hanya akan bernilai nol. Terlepas dari materi yang dipelajari, strategi untuk menyelesaikan soal juga hal yang menentukan. Mungkin memang begini cara bermain orang-orang di atas. Koar-koar tentang pentingnya pendidikan, tapi pelajar di bawah malah dipermainkan.


Jika meminta maaf maka mengakui kesalahan,

Jika mengakui kesalahan maka menerima ajakan perbaikan

Kesimpulan,

Jika menolak ajakan perbaikan maka tidak meminta maaf

Kadang banyak yang demikian

Sok-sok an minta maaf tapi kesalahan yang sama tetap berkelanjutan

Hari ke-G 

Siklus RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang