BAB 5 [CEMPOR]

122 24 5
                                    

Shaka dan Abi, berjalan melewati pesawahan yang asri, udaranya agak dingin—mungkin karena malam akan mulai menjelang.

Abi berjalan dengar agak tertatih, sungguh lelah dirinya. Jangan aneh, Abi itu anak 4 tahun yang berjalan saja masih sempoyongan ditambah dirinya cukup dimanja oleh ayahnya itu.

"Ama, taki Abi akitt," Lirih Abi, "Alanna ecil, Abi cucah jalanna."

"Kalo kamu tadi enggak mewek mau cepat pulang, kita tadi lewat jalan gede. Tapi karna kamunya kekeuh mau cepat sampe ya ... Jalan sawah."

Abi hanya dapat menghela nafas, tak ayal takut Shaka menangis lagi bila ia malah merengek minta di pangku. Abi juga melihat tangan Shaka yang telah penuh dengan belanjaan untuk kebutuhannya, dan helaan nafas kembali terdengar.

"Liat jalannya tuyul, ntar kamu jatuh-"

Brulhhhss

Ah ... Kacau sudah. Abi malah menginjak jalan sawah yang salah hingga ia jatuh ke sawah, syukurnya ia jatuh ke sisi sawah yang dangkal dengan kaki Shaka.

Shaka menatap Abi dengan tatapan sendu, namun ia tak ada niatan membantu sama sekali. Mulutnya terbuka, "Bangun, jangan manja. Cepet, ini udah mau magrib. Kalo magrib nanti ada wenwengan."

Abi menatap Shaka dengan sedih, separuh tubuhnya benar-benar penuh dengan lumpur. Mata bulatnya sudah berkaca-kaca Hendak menangis, namun ia tahan.

Mulut Abi bersuara lirih, "Ama ... Abi atuh Ama ... Ama ndak takut Abi enapa-napa?"

"Saya lebih takut kamu gak bisa apa-apa." Shaka berjalan melewati Abi, "Cepet bangun. Semakin lama kamu bangun semakin lama juga kita sampai."

Abi tertatih, lumpur memenuhi rambut dan kepalanya hingga ia begitu sulit mengangkat kepalanya itu. Tubuhnya teramat sakit hingga ia tak dapat bergerak bebas, matanya sudah memburam karena air mata yang mau tumpah. Tapi Abi tak mau rewel, tak mau Amanya sedih lalu meninggalkan dirinya.

Tubuhnya kini  benar-benar penuh dengan lumpur, tapi ia tak peduli. Dia hanya ingin mengejar Amanya.

"Ama!!"

Shaka menoleh dan tersenyum polos penuh kasih, "Sini," Ucap Shaka.

Tentu saja Abi semakin sumringah karena senyuman yang Shaka berikan, "Ama! Ama!" Abi berlari kecil, "Cepatuna ndak kontol kalna dalam plashtik!"

"Iya ... Ayo sini."

Abi berlari hingga ia sampai di depan Shaka, lalu kakinya menginjak sawah untuk berjalan di depan Abi. Ditangan kirinya terdapat sepatu dengan plastiknya sedikit kotor karena lumpur dan disebelah kanan tangannya terdapat sendal capit yang pencapitnya rusak karena tertarik saat Abi jatuh.

"Kayaknya kamu beneran tuyul deh," Ucap Shaka yang dihiraukan oleh Abi.

Abi benar-benar beberapa langkah di depan Shaka, ia sesekali merintih kesakitan ketika berjalan. Shaka hanya dapat mendengar rintihan suara itu dan sesekali menenangkan Abi.

"Ama, Abi auu cekolahh tayak ana-anak ti talan nang ake celagam. Anti Abi au ake cepatuna, celagam, tash, anti Abi puna temen anyakk!"

Shaka terhenti seketika, Sekolah?

"Ama pelnah sekolah?"

Shaka menaikan halisnya lalu kembali melangkahkan kaki, "Pernah. Tapi cuma sampe kelas 5 SD." Angin menerpa wajahnya yang pucat, "Dulu bapak sama enyak suka gelut, saya cape denger mereka gelut makanya saya ke jakarta. Teru—"

"Ama ketemu Papa, telus nikah ... Telusss puna Abi tehh!"

Shaka mengerutkan keningnya, "Bukan gitu ceritanya tuyul. Kan udah saya bilang saya sama Papa kamu itu Enggak nikah," Shaka benar-benar ingin mencubit ginjal anak di depannya sekarang, "Kita itu paling beda dikit. Kamu harusnya panggil saya Abang atau kakak atauuu Mas. Aa juga boleh, bisa-bisanya kamu panggil saya Ama."

[END!] Tuyul Ini Bukan Takhayul || Crt Ke 2 || Bukan HororTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang