"𝐒𝐢𝐚𝐩𝐚𝐩𝐮𝐧 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐦𝐮 𝐝𝐚𝐥𝐚𝐦 𝐠𝐚𝐫𝐢𝐬 𝐯𝐞𝐫𝐭𝐢𝐤𝐚𝐥 𝐢𝐧𝐢, 𝐩𝐢𝐥𝐢𝐡𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐧𝐲𝐚 𝐝𝐮𝐚. 𝐌𝐚𝐣𝐮 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐥𝐞𝐧𝐲𝐚𝐩 𝐚𝐭𝐚𝐮 𝐦𝐮𝐧𝐝𝐮𝐫 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐮𝐬𝐧𝐚𝐡."
Peperangan mental yang terjadi di SMA Internasional Sask...
SELAMAT DATANG DI GERBANG SMA INTERNASIONAL SASKARAWIJAYA
•
TEKAN TOMBOL VOTE DENGAN SEMANGAT DAN ISI RUANG KOSONG DI KOLOM KOMENTAR
• •~{ლωლლωლ}~•
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
SEBENARNYA koridor saat ini tidak terlalu ramai. Hanya karena Livia Mahira berjalan hendak beranjak menuju kelasnya yang berada di ujung sana, semua orang mengintip dari balik jendela dan pintu kelas. Tawa mereka terdengar renyah, nan merdu menggema di penjuru koridor.
Livia hanya mampu menundukkan kepala, malu akan setiap mata yang menatap enggan memberi rasa iba. Sementara kedua tangannya ia gunakan untuk menarik lantas mengepal erat ujung rok. Manakala satu persatu langkah ia lukis, tak lupa getaran tubuh yang tercipta dari gelora takut ikut menerjang Livia.
"Look? Shelooksridiculous now! It's funny! Ha ha ha!"
"Cara jalannya persis kayak zombie, haha!"
"Lihat aku berjalan! Argh!"
"Hahahaha!"
"Dia jelek banget sih!"
"Dekil!"
"Miskin!"
"Malu-maluin!"
Seluruh hinaan itu gema membayang dalam setiap permukaan dinding koridor. Terlempar bagaikan bola lalu memantul masuk ke dalam gendang telinga Livia. Bagaimana bisa Livia bisa tenang sekarang jika ucapan itu handal dalam menyakiti hatinya. Bagaikan kulit tersayat, hatinya itu teriris oleh kalimat seperti benda lembut yang rentan diluka.
Tidak hanya sampai di situ, kilat cahaya yang lahir dari kamera-kamera yang menangkap gambar Livia sungguh mampu membuat perempuan itu semakin tidak percaya diri.
Napas anak itu tersengal-sengal, tepat ketika ia menghentikan langkahnya. Livia semakin menundukkan kepala dengan bulir demi bulir kristal cair mulai jatuh bak air terjun di atas tebing yang terjal. Setiap tawa yang terdengar dari telinganya, kini membuat Livia merasakan detak jantung yang bergetar bagai tengah dilanda gempa. Tidak sampai di situ, kini anak itu merasakan atmosfer berhenti lalu dengan kasar berbalik arah menghantam tubuhnya hingga menciptakan rasa takut dan cemas yang berlebihan.
"Be-berhenti," katanya dengan suara bergetar lemah lantas mengucap dalam terbata-bata. "Aku mohon berhenti. Aku gak bisa menahan semua ini."