Latar Belakang Perasaan

43 7 0
                                    

Rasanya baru saja aku selesai dengan bunga tidur tadi malam. Sadar-sadar aku sudah ada di hadapan Guru, diomelinya.

Kata sadar juga tidak tepat digunakan, saat aku diomeli atau dicemooh depan banyak orang, selalunya mati rasa seperti orang tak sadarkan diri.

“Kamu ya! Apa susahnya masuk ke kelompok yang masih memiliki tempat kosong?!” Bentakan itu masuk cepat ke kepalaku lewat telinga kanan. Hanya bisa berharap lontaran kata-kata menyakitkan itu bisa keluar lewat telinga kiri dan berakhir dengan cepat. Nahas, telinga kiriku tuli. Haha.

“Maaf, sebelumnya saya sudah mencoba untuk masuk, tapi saya ditola-” Perkataanku terpotong.

Jelas sekali mau apa pun jawabannya, pasti tak akan diterima. Lebih baik aku diam lagi saja.

“Kenyataannya kamu belum punya kelompok. Kamu minta saya yang masukan? MANJA, YA?”

Tidak mau, aku tidak mau diolok-olok seperti ini di hadapan orang-orang kelas. Memalukan.

“Bu, masukan saja Elfsylia ke sini.”

Pandanganku yang tertunduk beralih pada suara menawarkan itu. Kelompok Niselyn, tentunya Flo juga di sana.

“Haduh! Ingin selamatin teman manja kamu ini? Sementara kelompok milik kamu saja sudah penuh. Pemikirannya pendek sekali,” cerca Guru di sampingku ini. Aku kembali melihat lantai setelahnya, merasa tak enak.

Karenaku Nyselin dan Flo terseret dan terkena getahnya. Padahal ini hanya hal kecil. Apa mereka berpikir karena ini hal kecil, jadi mereka sanggup membantu? Mungkin. Pada umumnya hal seperti ini akan merepotkan. Kebanyakan orang akan menghindarinya, bahkan diabaikan.

“Zeinaz bilang ingin pindah ke kelompok Arga, jadi kelompok kami ada sisa satu tempat. Kami masih bisa berpikir luas, kok, malah pakai perasaan juga,” counter Flo.

Guru mendengus kesal. Mengaku kalah dalam diamnya. “Ya sudah, sana duduk dengan teman-temanmu itu,” suruhnya kasar padaku.

Aku mengangguk pelan dan berjalan menuju tempat yang sudah disediakan Niselyn dan Flo, tampak lega karena akhirnya aku bisa lepas dari tali panggung kelas buatan wanita bergelar guru di balik papan tulis.

"Maaf ...," ucapku pelan. Menduduki kursi kayu yang disiapkan mereka.

"Kok maaf? Kata makasih buat kami senang loh."

Diriku terdiam. Kedua ujung bibirku membuat sebuah lengkungan, kini tersenyum senang. "Makasih ..."

“Lagian jahat bener, itu manusia atau buah durian? Gendut, tajam pula. Padahal dia Guru, contoh bagi anak-anak masa depan,” Niselyn mengumpat, seperti biasa tanpa filter.

Oit, kebiasaan. Tunda dulu dong.” Flo sepertinya ingin gabung ke dalam topik yang dimulai Niselyn.

Mau bagaimana lagi, Guru saat ini bukan pemimpin dunia politik yang tak peduli suara rakyat. Jadi, mau tak mau Nyselin dan Flo harus menahan diri dari menggosip.

Ah, di kondisi bagaimana pun kegiatan gosip tidak bagus. Jika terlanjur mengetahui sesuatu, lebih baik informasi tersebut dijadikan sebuah pelajaran bagi diri sendiri.

“Elia sering diperlakukan kayak gitu?” tanya Flo seraya memulai kontak mata denganku, sorot matanya menyatakan khawatir.

“Aku tahu! Pasti dia pendek karena beratnya tekanan hal kayak gitu!” Mataku membelalak, melewati mata Flo menuju Niselyn.

EMMH! FILTER MANA FILTER,” sergah Flo membungkam mulut Nyselin cepat.

Nyselin terkekeh pelan setelah tangan Flo tersingkir dari mulutnya. “Ya maaf, hehe.”

Tali Biru ke AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang