Berterus Terang

69 9 2
                                    

"Bagaimana sekolahnya?" tanya Kak Febrian yang sedang berada di depan laptop. Entah apa yang di operasikannya, hanya terlihat sebuah diagram dengan jenis warna yang berbeda-beda. Lebih baik aku jawab secara ringkas agar tidak menganggu waktunya.

"Bisa dibilang ramai," jawabku singkat, dengan badan teristirahatkan di atas kasur.

"Banyak manusia, kan? Dari sekian banyaknya manusia, ada yang ajak Elia bicara gak?" Lanjut Kak Febrian yang masih penasaran dan menginginkan aku melanjutkan berbagi cerita. Hal itu terlihat karena kini dia mengalihkan pandangan kepadaku. Aku nyaman dengan yang seperti ini, dimana sedang berkomunikasi di situlah kontak mata terjadi.

"Ada dua cewek, mereka sepertinya asik. Yang tinggi namanya Nyselin, dan satunya Flo lebih pendek dari Nyselin. Walau begitu, tetap aku tidak lebih tinggi dari Flo." Aku berbicara cepat layaknya nada mayor, sangat bersemangat. "Pertemanan seperti ini sering aku lihat. Penasaran, aku akan dapat teman yang lebih pendek atau lebih tinggi dariku."

Mendengar banyaknya kata yang keluar dari mulut mungilku, Kak Febrian membalut wajahnya dengan senyuman hangat. Dan memutar kursi ke arah aku berada sepenuhnya.

"Benar juga, tebakan Kakak mungkin kamu akan dapat teman yang lebih tinggi darimu. Ngomong-ngomong, ada yang mengganggu Elia di Sekolah?" Pertanyaan berbeda dilontarkan kepadaku.

Aku bergeming, membuat jeda sebelum menjawab. Perasaan senangku untuk berbagi cerita jadi menurun, tapi Kak Febrian tidak mungkin bermaksud seperti itu. Biarkan diriku konsisten bernada mayor, aku tak suka berhenti memainkan not di tengah-tengah permainan.

"Ada. Aku dapatkan nilai buruk di tugas pertama. Itu sudah cukup mengganggu pikiranku, bahkan perasaanku," Keluh diriku sembari berguling-guling pendek di atas kasur.

Kak Febrian hanya tertawa kecil melihat kegiatan yang aku lakukan. "Tak apa, Elia masih bisa berkembang," ujarnya kemudian melanjutkan kegiatannya bersama Laptop.

Entah mengapa, aku menginginkan untuk melanjutkan menekan not di bagian yang berbeda. Aku menginginkan untuk berterus terang. Terlihat egois, tapi mohon kali ini saja.

"Aku mulai menyukai corat-coret di atas kertas, Kak. Mau lihat tidak?" tawarku pada Kak Febrian.

Kak Febrian menoleh kepadaku dan mengangguk. "Boleh tuh."

Aku beranjak dari kasur dan menyambar tasku yang tergantung. Kemudian menarik keluar buku gambar, dengan cepet menyerahkannya pada Kak Febrian.

"Ini kak. Tugasnya menggambar kegiatan saat liburan Sekolah."

Kak Febrian yang melihat hasil gambarku tiba-tiba membatu, entah apa yang ada dalam pikirannya itu. Bahkan atmosfer sekitar berubah drastis menjadi canggung. Takut akan berlangsung lama, aku lebih memilih menghindari kontak mata kali ini.

"Kak, kenapa? Aneh ya?" tanyaku, tentu dengan perasaan takut atas responnya.

"Oh ... gak aneh sebenarnya," ia menjawab setelah tersadar kembali. "Gambar mu gak aneh, tapi nilainya yang cukup aneh."

Aku bergeming. Berpikir, apa Kak Febrian mengatakan hal itu karena tidak ingin membuat perasaanku terganggu? Atau memang murni sadar jika nilai yang aku dapatkan itu tidak sesuai?

Tidak boleh menduga-duga secara mentah seperti ini, tidak baik. Aku harus kembali memulai kontak mata agar tidak abu-abu sebab ketidakpastian.

"Kak, aku juga ingin buat guru tersenyum," ucapku karena mengingat kejadian saat di sekolah tadi.

Kak Febrian mengangguk setuju. "Tentu, siapa pun menginginkannya."

"Tapi aku tak punya hal yang mahal atau istimewa untuk membuat guru senang. Malah tugas pertama yang kukerjakan buatnya kecewa," jelasku dengan suara lirih di bagian terakhir, seolah kata kecewa yang aku sebut tadi diekspresikan secara nyata.

Tali Biru ke AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang