Keluar Arus Sungai

59 5 0
                                    

Pelajaran jam terakhir, hampir semua murid sepertinya mengantuk kehabisan tenaga untuk belajar. Sementara diriku tetap melanjutkan menulis materi yang diberikan, berpikir, kapan lagi aku bisa belajar setenang ini tanpa diganggu seperti saat awal SMP? Jadi, aku harus menikmatinya dengan sepenuh hati!

Atau... ada cara lain untuk menikmatinya? Mungkin saja. Kalau pun itu ada, dari mana ya?

Jika dipikirkan kembali, aku hanya bertanya-tanya, dan menunggu sesuatu datang, ketimbang mencari atau membuatnya, terlihat seperti... pemalas? Tidak. Sejujurnya aku takut kalau harus memulai atau menciptakan sesuatu, juga, aku takut kalau cara lain tersebut justru tidak lebih baik dari yang sudah ada. Eh, mengembangkan sesuatu yang ada juga tidak pernah. Pantas saja kehidupanku nampak datar. Sekarang coba lakukan perubahan mungkin?

Oh, aku telat. Nyselin mendahului. Dia bahkan sudah ada di hadapanku.

“Elia, pinjam pulpen dong.”

Ternyata meminjam pulpen? Aku kira dia akan memulai komunikasi untuk hal lain. Atau ini hanya basa-basi saja, ya? Ah, aku terlihat seperti mengharapkan sesuatu. Ikuti saja yang ada dulu kalau begitu.

“Ini, aku punya satu, mau?” berhenti aku menulis, menyerahkan pulpen yang sedang digunakan tadi. Namun Niselyn hanya menggeleng kepala pelan.

“Kalau lagi Elia pakai, gak usah kok,” ujarnya, beranjak mundur dan berpindah ke sebelahku. “Ngomong-ngomong ... tadi, Arga gak ngelakuin sesuatu yang aneh, kan?” bisiknya, mendekati telinga kiriku. Aku memutar kepala dan membiarkannya berbisik ulang di telinga kanan. Kini kalimatnya terdengar.

Harusnya aku yang bertanya. Bertanya bagaimana kondisi keningnya dan juga milik Flo.

Melirik aku pada keningnya, ternyata tidak ada bekas yang begitu pekat. Mereka sudah mengatasinya dengan baik.

Tidak berfokus pada penyebab atau pelaku yang membuat sakit, tapi berfokus pada bagaimana cara menyembuhkannya.

“Hal aneh ..., ya?” gumamku. “Dia beri aku airpods.”

Niselyn menghela nafas panjang pasrah, disusul tatapan terkejut saat menaruh tatap pada bukuku. “Itu tulisan tangan atau font?!”

“Apaan tuh?” sambar Flo. Kening miliknya terlihat baik-baik saja saat ini. Oh, dia mengompresnya dengan... Eh? Kantong es teh? Ada sedotannya pula. Dia habis dari kantin, ya. Padahal sedang jam pelajaran.

Haus no 1. Katanya begitu, kalau tidak salah.

“Lihat deh, tulisan Elia rapih banget ngalahin sekretaris kelas kita yang kerjaannya cuman masuk sekolah sebulan sekali!” puji Niselyn sembari membandingan.

Jujur, aku tak suka pujian yang dilakukan dengan seperti itu. Tak perlu membandingkan atau merendahkan agar yang di puji terlihat lebih baik. Karena tanpa membandingkan, membuktikan yang di puji itu memang sudah baik tanpa sebuah perbandingan.

Aku jadi tak tahu harus merespon bagaimana, ucap terima kasih pun agak tidak cocok, lebih tepatnya... malu. Bahkan diam juga lebih buruk. Cara tersisa hanya tersenyum lalu bersuara, hehe.

Biasa aku gunakan saat SD agar terhindar dari sebutan sombong.

Cara yang sangat ampuh!

“Oh iya, itu apa?” Aku mengarahkan jari telunjuk pada apa yang dipegang Flo.

“Es cekek-“ Suara Flo tertahan oleh Niselyn yang mencekiknya tiba-tiba. Ternyata dijawab oleh aksi ya, haha.

“Dicekek beneran noh. Aku bilang jangan ke kantin di jam pelajaran!” Niselyn membentak. “Kalau tanpa gue,” sambungnya setelah jeda. Tersenyum jahil.

Tali Biru ke AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang