Prolog

328 27 18
                                    

-Tali Biru Aku dengan Mereka-

Masa putih biru adalah masa Sekolah yang sangat menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman dan memulai kisah romantis dengan orang yang disukai. Namun, aku merasa itu hanya sebuah karangan manusia yang penuh kebohongan. Dengan ini aku setuju mengapa Dunia disebut tempat tipu-tipu.

Ck!

Diriku membeku mendengar suara dercakan dari mulutnya.

"Cewek brengsek! Kalau gue berkesempatan milih, gue gak akan pernah mau jadi temen lo," bentak cewek di depanku, memegang erat cutter di tangannya.

"Konyol ... percaya begitu saja dengan hal yang tak pasti" balasku santai, jika tidak begitu mungkin aku akan semakin dimaki. Ditambah kondisiku sedang di atas lantai didorongnya.

"Ucapan lo kotor persis kayak tampang lo, dasar Cewek jalang. Dan lo minta gue percaya ucapan lo? Gue lebih percaya pihak organisasi Sekolah!" tekan cewek itu, mengarahkan lebih dekat cutter ke arahku.

"Berarti sudah jelas percuma jelaskan ulang jika aku itu tak pernah beli nilai. Sekali lagi, Itu semua nilai murni dari usaha-"

"LO KIRA GUE GAK ADA USAHA? Lo dengan semudah itu ambil posisi pertama gue dengan beli nilai!" tukasnya sembari dengan cepat menyayat pipiku.

Rasanya hampir serupa dengan saat tergores oleh tepi kertas. Perih.

"Seberapa berat tekanan orang tua kepadamu. Ini benar-benar menguras energi ...," lirihku sembari menahan perih sayatan yang ia buat di pipiku.

Jantungku terasa semakin sakit karena sedari awal berdegup begitu kencang, bahkan kini udara pun sulit aku hirup dengan baik.

Berdiri aku di depannya, begitu menunduk melihat rok biru yang aku kenakan, tetesan darah dari pipiku menetes beraturan ke atas sepatu yang dikenakan gadis depanku. Jelas itu dari brand ternama.

"M-maaf ... karenaku itu kotor. Akan segera aku bersihkan." Berjalan diriku terhuyung-huyung dengan kepala tetap tertunduk, menjauhi Velan yang sedari tadi gemetar hebat menggenggam cutter.

"Akh! Sakit!"

Dengan tiba-tiba rambutku tertarik kencang oleh salah satu teman Velan. Itu Ecali. Mataku yang setengah tertutup tadi, kini membelalak karena terkejut.

"Mau kemana sih lo? Bersihkan dulu sepatu Velan sekarang dong!" suruhnya sangar, membuatku tersungkur ke lantai tepat di depan Velan. Lagi.

"Aku benar-benar meminta maaf sebelumnya. Lagipula, jika Velan tak melukaiku, mungkin darah tak akan menetes hingga menodai sepatunya," balasku pada Ecali bersuarakan yang semakin tak terdengar karena gemetaran. Benar, bohong jika aku bilang tidak takut pada mereka, teman lamaku.

"Berani protes lagi nih keroco, heh ...," sindir Dhena akhirnya padaku yang sedari tadi hanya menonton sembari menyilangkan tangan.

"Fakta, bukan?" aku menyulut mereka, seolah menuang bensin di atas api. Sepertinya aku juga akan terkena api yang semakin luas itu.

Benar saja, Dhena segera mengambil posisi Velan untuk merebut cutter. Dengan cepat kurasakan rambutku dijambak kembali oleh Ecali, itu kencang.

"Seharusnya tadi aku diam saja ..., jika sudah begini ada kemungkinan diriku berada di kondisi yang jauh lebih buruk lagi." gumamku dalam hati menyesal. Bergidik ngeri membayangkan apa yang akan mereka bertiga lakukan padaku selanjutnya dengan berdasarkan amarah hebat itu.

Tiara seorang gadis adalah rambutnya.

Terpotong rambut panjangku oleh Dhena, secara tak langsung menyatakan bahwa tali persahabatanku dengan mereka ikut terpotong.

Sakit...

Melihat rok biru sekolah yang turut terpotong pendek oleh mereka, seolah itulah masaku di Sekolah putih biru. Mengapa harus begitu pendek dan singkat?

...

Nyatanya aku sudah tidak Sekolah selama dua semester. Diriku sempat dipindah tempatkan ke Sanatorium Eropa selama dua bulan oleh paksaan Kakek, sehingga pihak Sekolah tidak akan mengetahui alasan di balik aku tak Sekolah selama dua semester itu. Pada akhirnya menyatakan aku dengan nama Elfsylia keluar dari Sekolah.

"Gelap juga dingin ya... Tak ada warna biru lagi di sini." aku dikurung dalam gudang oleh orang tua. Katanya kondisi ekonomi sangat menurun dengan drastis karena mental diriku yang tidak baik-baik saja hingga mengharuskan aku tinggal di Sanatorium Eropa. Mau sekeras apapun aku menolak untuk tinggal di sana, perintah Kakek pada Orang tuaku lebih keras dan tak dapat dibantah, terutama beliau akan meninggal dalam waktu dekat. Singkatnya seperti wasiat.

Inginku sekali menjelaskan sedari dulu perihal penyebab kondisi mentalku yang buruk, supaya Orang tuaku mengetahui akar permasalahan lalu solusi lain atas penyembuhanku. Namun kenyataan menghempaskan tekadku untuk sembuh juga tekad membantu mereka menambah informasi.

Mereka dengan mudahnya menolak alasan dasar atas kondisiku dengan menyanggah bahwa faktor hormon anak remaja yang belum stabil.

Setelah untuk yang terakhir kalinya aku mencoba menyelesaikan dengan cara menjelaskan alasan dasar pada mereka, aku memilih membungkam diri. Daripada telinga kananku akan bernasib sama dengan telinga kiriku yang kini sudah tak dapat digunakan sebagai indra pendengaran.

"Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf."

"Aku begitu ingin membantu kondisi ekonomi kalian. Tapi dengan bagaimana, aku bahkan tak tahu cara menolong diriku sendiri ...," lirihku dalam hati. Merasa sangat bersalah karena menjadi anak yang membebankan mereka.

"Ayah ... Ibu ..., aku ingin kalian mengerti aku seperti halnya aku mengerti kalian." sunyi kala ini terlalu berisik. Tangisan yang sedari awal aku tahan kini melebur ke mana-mana memecah keheningan.

"Tahan tangis saja akh tak bisa. sebenarnya hang aku bisa lakukan apa? mengapa begitu bu-abu, tidak jelas," membatin diriku.

Mau tak mau air mata mesti aku tahan lebih lama lagi. Sesak sekali rasanya dadaku, tapi kondisi ini lebih baik daripada nanti terpukul untuk ke sekian kalinya oleh ayah karena aku menangis.

Namun entah mengapa, semakin diriku menahan, semakin banyak ingatan buruk berdatangan. Berisik sekali isi kepalaku

Velan, Ecali dan, Dhena, sahabat-sahabatku yang sangat berprestasi. Mereka berhasil membuatku begitu termotivasi untuk menjadi hebat juga berprestasi. Akan memalukan bagi mereka memiliki aku di sisi yang sangat tertinggal jauh.

Aku pikir mereka akan senang memiliki teman yang setara, nyatanya mereka lebih senang jika ada aku yang lebih rendah dari mereka. Dengan adanya aku, mereka akan merasa lebih baik juga tinggi dibandingkan diriku. Katanya itu membantu mereka agar tidak merasa insecure.

"Jahat ...," diriku mengumpat.

"Aku tahu mereka mendapat tekanan Orang tua untuk menjadi yang terbaik di dunia pendidikan. Tapi, bukankah mereka bodoh jika merasa lebih baik dengan cara seperti itu?"

Berbagai banyak perasaan negatif manusiawi berkumpul dalam satu wadah dan satu waktu. Jika wadahnya hanya sebesar tubuh mungilku atau hanya sebesar Gudang, tentu akan terjadi peluapan yang tak terkontrol.

Isak tangis perlahan mengeras turut memenuhi Gudang. Suaraku semakin serak dan perih, mata terasa berat karena kantuk, kepala amat terasa sakit menahan tangis sebelumnya.

Tanpa aku sadari, mata perlahan menutup dengan sendirinya seolah berkata "Sudah cukup lelahnya, beristirahatlah dan pergi tidur."

Tak peduli sedingin dan sekotor apa lantai gudang, aku ambil posisi berbaring. Tidur menuruti apa mau mata sembab ini tanpa memperdulikan jika aku akan bangun kembali atau tidak.

Klek, drrtt

Gesekan pintu dengan lantai membuat suara derit yang disusul terbukanya pintu secara perlahan setelah beberapa saat. Dimasuki oleh seseorang yang aku tebak itu adalah Ayah, namun ternyata aku salah. Suara ini jauh dari nada kasar milik Ayah. Lembut.

Lalu siapa itu?

Tali Biru ke AbuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang