11

65 7 4
                                    

Sebenarnya Juli tahu kalau tingkah anehnya membuat semua orang-sewajarnya, berpikir bahwa Juli bertingkah aneh begitu karena sudah mulai gila. Mulai ada gejala sakit jiwa. Tapi, dari hati terdalamnya, Juli sendiri tidak mengerti mengapa dirinya bisa menjadi seimpulsif itu sekarang. Ia jadi mudah bersikap kekanak-kanakan, suka berimajinasi, dan lebih sering aktif tertawa sendiri, terutama ketika membaca komik atau novel.

Kadang pula, dia berbicara sendirian, entah secara sembunyi atau di depan umum. Satu-satunyan alasan yang bisa membuat Juli membenarkan sikapnya adalah, supaya hati, jiwa, dan ingatannya tidak kembali merasa sakit dan sesak.

Sejak mengingat kejadian tiga tahun lalu itu, Juli merasa takut untuk bersuara atau berbicara keras-keras, hingga lebih baik rasanya kalau ia diam saja. Hal itulah yang membuatnya kesulitan berteman, bergabung, satu frekuensi, mengerti topik yang mereka bicarakan, atau sekadar memiliki energi yang sama semangatnya dengan teman-teman sekelasnya. Pada akhirnya, jarang ada yang menghampirinya atau mengajak berteman.

Kesulitannya berkomunikasi, atau mengucapkan sesuatu secara jelas, atau terkadang pikirannya yang tidak sejalan, sering membuatnya ragu dalam banyak hal, maka ia memilih diam, dan hidup dengan dirinya sendiri. Akhirnya Juli sering tidak fokus dan lambat dalam banyak hal. Perawakannya yang lemah, pucat, kecil, kusam, dan pendiam, mendukung keterasingannya di kelas. Diam-diam, Juli kadang bertanya-tanya, apakah benar kalau ini semua terjadi karena murni kesalahannya sendiri.

Setelah bel istirahat berbunyi, Juli mulai menyiapkan tiga mainannya lagi karena hendak menuju gudang belakang, saat tiba-tiba ada seseorang yang menyerukan namanya. Itu Tasya, sang wakil ketua kelas.

Perempuan itu menghampiri Juli, "Juli lo di cari Bu Maura, ya. Dia nunggu lo di UKS."

Juli tercekat, pesan itu terdengar oleh beberapa teman kelas di sisinya. Mereka langsung memberi tatapan menghakimi kepada Juli, seakan-akan itu adalah hal yang sudah sangat harus Juli lakukan; yaitu ke UKS, atau bahkan pergi kerumah sakit jiwa. Melakukan perawatan. Karena mereka kebanyakan percaya, kalau Juli, jiwanya, sudah sakit. Juli pun berdiri, bergegas dan keluar kelas menuju UKS, sebelum semua tatapan judge barusan, serta ucapan-ucapan tak mengenakan terdengar lagi dan melukai hatinya

"Bagaimana, kondisi kamu udah baikan? Tubuh kamu kemarin panas, Juliet." tanya Maura dengan wajah khawatir.

Juli menjawab sekenanya; mengangguk pelan.

"Lalu, sayatan luka di lenganmu, sudah membaik?"

Juli menahan napas. Hal ini membuatnya sadar. Maura sudah dan pasti mengetahui luka itu karena kejadian kemarin. Artinya, bukan dia yang mengobati luka ditangannya, tapi Maura.

Maura mengecek lengan Juli dengan hati-hati, beberapa sudah direkatkan plester. "Kemarin, ini sudah saya obati. Saya kaget lihatnya, Juliet. Semua luka itu pasti bikin kamu sakit. Kamu juga kemarin demam. Hari ini, kamu sudah disuruh istirahat, kan sama orang tua kamu? Kamu nggak perlu datang ke sekolah. Tapi pagi ini, saya lihat kamu masuk kelas. Kamu bandel, lagi ya?" tanyanya selidik.

Juli hanya diam saja. Bandel maksudnya adalah, Juli tidak mau istirahat di rumah setelah mendapat nasihat dari orang tuanya. Seandainya ibu tahu... kalau orang tua saya sudah meninggal, pikirJuli.

"Oh iya. Kemarin Romi yang bawa kamu kesini." lanjut Maura, mendadak ingat.

Juli menatap terkejut. Ia tidak mengira kalau Romi yang membawanya ke ruang UKS. Hal yang terakhir diingatnya, ia memang langsung terkulai lemas setelah tertimpuk bola oleh seseorang, entah siapa. Setelah itu, ia langsung tidak ingat apa-apa.

"Habis itu dia pergi pulang, karena ada urusan, katanya. Terus saya langsung mengabari Ibu kamu. Lumayan lama Ibu kamu datang. Tapi sewaktu sampai disini, ia melihat kondisi kamu dan jemput kamu pulang" lanjutnya, "Juli, kenapa kamu melukai diri kamu sendiri? Kamu ada masalah apa?"

On rainy days, be my epiphany || taennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang