Prolog

245 10 0
                                    

"Hei."

Hari itu, Juli membuat seorang perempuan yang berjalan di depannya berhenti melangkah. Perempuan itu berbalik, menatap Juli yang terdiam dan berpikir. Perempuan itu melihat gelagat Juli yang tampak aneh-seperti sedang berusaha keras merangkai sebuah kata-kata di dalam pikirannya. Perempuan berambut hitam panjang itu masih menunggu Juli melanjutkan perkataannya.

"Serius, kan.. kita bisa berteman?"

Itu pertanyaan yang menyedihkan. Perempuan itu-yang memiliki nama asli Juliet, tahu kalau selama ini ia dicap sebagai perempuan aneh dan menjijikan di sekolah. Juli tidak punya teman dekat, teman bercerita, apalagi sahabat. Ia hampir tidak pernah mengeluarkan suaranya di sekolah selain jika itu diperlukan. Setiap Juli berjalan, melangkah, atau mengucapkan sesuatu, hampir semua orang menatapnya dengan perasaan kesal. Raut wajah mereka mendadak gusar, kening mereka mengerut, dan beberapa dari mereka mendengus karena seringnya Juli dianggap sebagai beban, sehingga kehadirannya tidak terlalu diperlukan.

Ada alasan mengapa itu semua terjadi menimpa Juli; kabar burung yang berseliweran mengatakan, bahwa peremuan itu, Juliet, sebenarnya adalah orang gila. Ada ciri-ciri jadi ODGJ, katanya. Kabar itu sudah hampir didengar seluruh warga di tempatnya bersekolah, yakni di SMAN Astha Jakarta Selatan. Terutama teman-teman sekelasnya, yang akhirnya membuat itu menjadi salah satu penyebab mereka memilih terus menghindari Juli di kelas.

Saat seorang perempuan teman sekelasnya tiba-tiba datang menghampirinya dan mengajaknya makan bersama di kantin, hal itu membuat Juli sangat bahagia. Perempuan baik itu bernama Dinda. Ia merupakan murid yang cantik dan pintar di kelas. Kadang Juli iri dengan dirinya yang sering berhasil menjawab pertanyaan guru. Ia aktif bertanya pada guru, dan kadang berakhir berdebat dengan Roman, salah satu murid laki-laki di kelas yang tak kalah pintarnya.

Jadi ketika Juli akhirnya bisa mendapat teman makan pertama kali di sekolah, ia bahagia sekaligus takut kalau itu hanyalah mimpi. Meski hanya sebuah ajakan sederhana, makan bersama saat istirahat, tak bisa dipungkiri bahwa Juli merasa menjadi seseorang yang sangat beruntung hari itu.

Dinda mengerjap. "Iya dong. Kita, kan udah makan bareng tadi."

"Terus kita beneran bakal main setelah pulang sekolah nanti, kan?"

Dinda mengangguk. "Yap. Kita nonton film. Ada film yang mau gue tonton."

Semenjak itu, Juli menjadi semangat untuk berangkat sekolah. Ia tidak menganggap keberangkatannya adalah perjalanan menuju neraka lagi. Di sekolah, ia tidak khawatir dengan pandangan orang-orang yang sering menggosipinya, ia tidak khawatir jika mendadak ditertawakan, atau di tunjuk-tunjuk oleh seseorang dan saat menoleh, sekumpulan orang di belakangnya itu menertawainya. Meski masih sering mengalami itu, kehadiran Dinda selama di sekolah membuatnya melupakan kengerian itu.

Mereka berdua sudah menghabiskan waktu bersama selama hampir seminggu; mereka hangout, beli eskrim, dan berbelanja.

"Dinda, kenapa lo gak bareng sama Riani lagi? Kalian berantem, ya?"

Kini mereka berdua sedang berada di sebuah cafe. Karena selama ini Juli tahu kalau Dinda berteman dekat dengan Riani di kelas, pertanyaan itu mendadak ingin ia tanyakan. Semenjak bermain dengannya, Dinda sudah jarang berinteraksi dengan Riani lagi di kelas.

"Ya gitu deh. Gue lagi kesel aja sama dia. Udah jangan ngomongin dia lagi. Kita udah gak sedeket itu." jawabnya.

Setelah selesai dari cafe, Juli menyadari hari itu sudah mulai gelap. Mereka akan segera pulang karena besok masih harus berangkat sekolah.

"Juli.. btw lo tahu, kan minggu depan udah mulai UTS. Kayaknya kita perlu kurangin main deh, setuju gak?"

Juli terdiam, ia mengerti karena mereka harus fokus belajar. "Hmm iya."

"Oh iya, gue boleh minta bantuan nggak? Gue kemarin dititipin sama Bu Ira nih, tapi belum sempet gue kerjain."

"Bantuan apa?"

Dinda berhenti dan mengambil sebuah surat dari tasnya, lalu ia berikan kepada Juli. "Tadi waktu pulang sekolah, di jalan gue gak sengaja ketemu Bu Ira yang masih cuti, lagi ada diluar. Dia titip sesuatu ke gue buat disimpen di meja Bu Gina di sekolah. Kebetulan karena gue besok bakal izin gak masuk, gue minta tolong ke lo, ya? Buat simpen ini di meja Bu Gina?"

"Lo gak masuk? Kenapa? Lo.. sakit?"

Dinda menggeleng. "Enggak. Gue ada acara keluarga."

Juli kemudian mengangguk mengerti. Perempuan itu menatap surat yang masih ada di tangan Dinda, menunggu Juli mengambilnya.

"Ini untuk Bu Gina?" tanya Juli, agak heran.

"Iya Bu Gina. Gue pesen banget sama lo, usahain lo simpennya pas pagi-pagi banget, ya. Soalnya itu data penting. Bu Gina butuh banget sebelum dia mulai ngajar di sekolah. Jadi sebelum Bu Gina datang, lo udah harus berangkat ke sekolah. Oke?"

Mendengar pesan itu, Juli langsung mengangguk dan tersenyum. Itu artinya Dinda sudah percaya padanya, dan pertemanan mereka akan semakin dekat-nan erat. Juli bertekad tidak akan membuat Dinda kecewa. Ia akan mengingat pesan itu dan melakukan apa yang telah diminta Dinda; bangun dan berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, kemudian izin masuk ke dalam ruangan guru untuk bertemu Bu Gina, atau menaruh surat itu di atas mejanya seawal mungkin.

Pagi itu, guru yang hendak Juli temui belum ada di ruangan. Pak Okta, salah satu guru sekolah yang sudah ada di ruangan guru itu menyuruh Juli menaruh suratnya di atas meja. Meja kerja tempat Bu Gina! Juli lantas melakukannya dengan hati riang.

Dan tidak pernah terpikirkan sekali pun bagi Juli, surat itu mengantarkannya pada petaka baru yang lebih mengerikan.

☂︎

Haloo. Makasih sudah mampir dan baca cerita ini. Boleh klik vote kalau suka sama ceritanya atau komen kalau ada kritik/saran yaaa. Klik vote juga untuk ninggalin jejak supaya bisa aku infoin kalau sudah update chapter baru. Makasih ^^

On rainy days, be my epiphany || taennieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang