ARISANDI
Mendadak pening
"Uti... tolong jelasin ke Sandi."
Entah sudah berapa kali gue merengek dengan kalimat yang sama pada Uti, tapi Uti masih ngotot dengan agenda diamnya. Yang gue dapat sebagai jawaban hanyalah hela napas Uti yang tak berkesudahan.
"Manda nggak mau ngomong sama Sandi, Uti. Kalo Sandi nggak tau duduk perkaranya apa, Sandi nggak bakal bisa jelasin apa-apa ke Manda."
ASLI, kalo nggak karena gue lagi duduk di hadapan Uti, pasti dari tadi mulut gue udah nggak berhenti ngomong kasar. Sudah tiga puluh menit gue ngebujuk Uti tapi sampe sekarang nggak ada tanda-tanda Uti mau coba ngejelasin ke gue.
Gue berusaha sekuat tenaga supaya nih mulut nggak ngomong yang aneh-aneh.
"Manda tau, Ndi... kalau kalian berdua dijodohin."
AKHIRNYA!
Mungkin Uti sendiri sudah lelah diam-diaman terus sementara gue nggak berhenti merengek kayak anak kecil. Apa pun itu alasannya, yang penting Uti sekarang mau ngomong.
Oke, untuk apa yang tadi dikatakan Uti, gue juga sudah tau. Kemarin, Manda bilang sendiri ke gue soal perjodohan itu—dia ngomongnya pake nada tinggi dan terlihat seperti orang kesal.
Apa Manda nggak senang dengan fakta kalau gue adalah orang yang dijodohkan sama dia?
Jujur, saat pikiran itu sempat terlintas, gue agak sakit hati.
Gue hanya tau sebatas itu. Urusan Manda tau dari siapa, kenapa Manda bisa tau, dan alasan dia jadi semarah itu gue nggak tau dengan pasti. Gue sudah mencoba menghubungkan semua kemungkinan yang ada, tapi tetap aja, nggak ketemu.
Kemarin, selain Manda yang mendadak bilang kalau gue nggak perlu merasa bertanggung jawab untuk apa pun dengan nada marah, gue dan Manda juga sempat bertengkar kedua kali untuk hal lain.
Gue terpaksa menaikkan nada suara gue pada Manda karena dia ngotot mau pulang sendiri. Melihat keadaan Manda yang kayak gitu, wajahnya sembab dan bengkak karena kebanyakan nangis, juga emosinya yang masih jauh banget dari kata stabil, gue nggak mungkin membiarkan dia pulang sendiri.
Terlalu berbahaya.
Tapi, Manda yang keras kepala nggak mau mendengar dan tetap berjalan menjauh dari posisi mobil gue (yang di dalamnya ada Oki dan Erik yang menunggu).
"Amanda, lo jangan gila!" gue beneran nggak sadar kalau suara gue udah naik. Tangan gue meraih lengan Manda dan menarik tubuhnya hingga berbalik dan berhadapan dengan gue. "Terserah lo mau marah sama gue apa gimana. Lo boleh benci gue. Lo boleh maki-maki gue. Tapi, jangan larang gue untuk mencegah lo pulang sendiri."