6. Piece of Chaos

2.1K 254 63
                                    

“Apakah kau gila?!”

Suasana malam itu mencekam sekali. Keluarga yang biasanya menyandang gelar cemara berubah haluan begitu saja. Sedangkan yang ditanya nampak sedang melayang, cedera ringan.

“KENAPA KAU INGIN MENGGUGURKAN ANAK ITU?!” teriaknya kesal, tidak sanggup dengan jalan pikiran wanita di hadapannya.

“Kau tau apa Suhyeon? Masa depanmu sudah terjamin hanya dengan sekolah spesialis, hanya butuh beberapa tahun saja. Sedangkan aku membawa nyawa baru! Ini tanggung jawabku seumur hidup!” cercanya dengan mata yang merah dan tubuhnya yang bergetar menahan emosi.

“Apa kau tidak takut menyesal akan kehilangan anak itu? Darah dagingmu sendiri? Apa kau tega?” Suhyeon bertanya dengan nada kasar.

“AKU TIDAK INGIN DIA LAHIR TANPA ORANG TUA! SELAMANYA, DIA, AKAN MENJADI ANAK HARAM!”

Suhyeon nyaris saja menampar wanita itu jika tidak ingat dia adalah perempuan.

“MAKA BERITAHU AKU SIAPA AYAHNYA?!”

“AKU TIDAK INGAT!”

Suara mereka terdengar saling membentak. Cukup membuat gendang telinga pecah jika bergabung.

“One night stand... saat aku bangun, tidak ada lagi dia di sisiku. Saat itu adalah masa suburku, setelah itu, aku sudah tidak mendapatkan menstruasiku. Aku berpikiran positif mungkin aku stress karena overthinking. Akan tetapi apa? Aku mencoba 7 jenis testpack dan mendapat 2 garis disana! Sudah 2 bulan....”

Suhyeon terjatuh dari tempatnya berdiri, dia bersandar pada dinding karena tubuhnya tidak mampu ia sangga lagi.

“Aku gagal menjadi anak bagi orang tuaku, gagal menjadi kakak bagi adikku, lalu sekarang apa kau akan membiarkanku berhasil menjadi seorang ibu?! Menjadi ibu itu perjuangan seumur hidup, Suhyeon. Bukan selama mengandung dan melahirkannya saja...” ucapnya dengan nada yang bergetar.

“Lalu menurutmu? Anak tidak berdosa itu harus dibunuh?” Suhyeon bertanya balik.

Wanita di depannya menggeleng, “Pilihannya hanyalah, aku, atau anak ini yang tiada! Aku tak akan sanggup melihatnya tumbuh dan meratapi kesalahanku seumur hidup! Apa kau gila?”

“Berhenti berpikir untuk meratapinya, jika kau masih punya nurani, kau tidak akan membiarkan janinmu terluka apapun yang terjadi.”

Wanita itu berlari keluar dari rumah, membuat Suhyeon terhentak, segera ia berlari menyusul namun telfonnya berdering. tertulis nama kontak Geewoni🖤  disana.

“Halo? Dimana? Aku sudah di tempat yang kita reservasi. Tidak lupa, ‘kan? Ini first anniversary.” katanya dengan gelak tawa di akhir kalimat.

Suhyeon yang mendengarnya, merasa tidak bisa membuat pilihan dengan pikiran yang keruh saat ini.

“Geewoni, sekarang dengarkan aku baik-baik... Kau bisa membenciku setelah ini, kita harus putus mulai detik ini.”

Hening. Seperti tidak ada tanda-tanda kehidupan di seberang.

“Apa maksudmu?”

“Kita putus.”

Telfon dimatikan, Suhyeon melempar ponselnya dan mengejar sang kakak yang melarikan diri. Ia takut kakaknya bertindak gegabah.




“Lalu? Apa yang terjadi dengan kakakmu?”

Suhyeon menatap wanita itu setelah pandangannya kosong ke depan, “Kakakku tinggal di rumah sakit jiwa untuk sementara waktu, keadaannya membahayakan saat itu. Namun, saat diawasi pun dia tetap berusaha untuk menghilangkan nyawa anaknya sendiri.” Suhyeon menundukkan pandangannya, matanya terasa berkabut.

Geewoni yang mendengar hanya mampu untuk menunggu, Geewoni duduk bersandar pada tiang gazebo dengan menekuk lututnya, menunggu cerita dilanjutkan.

“Saat itu keadaannya sangat chaos. Aku harus fokus pada spesialis sedangkan dia berkali-kali nyaris melenyapkan anaknya. Aku spesialis kandungan, Gee. Bagaimana bisa aku jadi dokter kandungan jika keluargaku sendiri ingin melenyapkan bayi yang tidak berdosa?”

Geewoni tidak berkutik, dia mengulum bibirnya, dengan sabar menunggu lanjutan ceritanya.

“Orang tuaku merasa malu sekali. Sebelumnya, kakakku sudah tunangan karena perjodohan. Namun siapa sangka dia mau menghabiskan kenakalan sebelum menjadi istri orang. Karena rasa malu itu, orang tua kami pindah ke provinsi sebelah, mereka sudah cukup banyak menerima caci maki. Sedangkan aku dan kakak hanya pindah kota, setidaknya tidak ada yang mengenal kami.”

Geewoni mengembuskan nafas besarnya, ikut merasa lega walaupun masih mau tau kelanjutan ceritanya.

“Ketika kandungannya sudah 8 bulan, dia berhasil kabur dari rumah sakit jiwa, namun naas, dia... tertabrak mobil.” Suhyeon menyeka matanya yang basah, “Kukira aku bisa menghandle segalanya dengan cara melepasmu.... Ternyata, semuanya tetap rumit. Kakakku meninggal setelah bayinya lahir. Saat itu aku baru pulang kuliah.” lanjutnya.

“Orang tuaku yang mengetahui hal tersebut memutuskan untuk mengasuh Haneul. Karena bagaimanapun, Haneul adalah cucu mereka. Aku menolak awalnya, aku mau mengasuh anak itu, tapi, orang tuaku meminta agar aku fokus pendidikan. Setidaknya, hanya aku harapan mereka. Mereka hanya menginginkan harapan terakhirnya berjalan sesuai rencana. Saat umur Haneul 4 tahun, aku membawanya ke rumah. Dia tau aku adalah pamannya. Orang tuaku mengatakan ayahnya meninggal saat dia masih di kandungan, sedangkan ibunya meninggal setelah melahirkan. Apakah aku tega?”

Geewoni diam, dia tau akan rasa sakit hatinya, namun dia tidak tau dengan apa yang dirasakan mantan kekasihnya.

“Aku sering berkunjung ke rumah orang tuaku agar membentuk bonding yang baik dengan Haneul. Hingga tibalah saat dia harus sekolah, aku meyakinkan orang tuaku jika aku bisa mengasuhnya, supaya aku tidak kesepian. Pelan-pelan, anak itu belajar memanggilku ‘Papa.’ aku yang memintanya. Itulah kenapa selain bersekolah, dia juga berada di daycare. Makanya aku mengatakan padamu, kau memberikan apa yang tidak bisa aku berikan padanya.”

Suhyeon menatap langit yang sudah mulai gelap, “Pulanglah.”

Geewoni menggigit bibir bawahnya yang mulai bergetar, “Kau jahat sekali.”

Suhyeon yang melihatnya merasa heran, “Aku? Iya aku jahat padamu.” Lalu menarik tubuh mungil Geewoni dalam pelukan, “Kau bisa membenciku seumur hidup, Geewoni. Yang penting jangan Haneul... dia sangat menyayangimu. aku penyebabmu merasa tidak pantas untuk siapapun, aku juga Gee. Aku tidak layak untuk siapapun. Apa yang bisa diharapkan dari lelaki yang meninggalkan pacarnya tanpa alasan?” ia mengelus rambut Geewoni lembut sekali, dengan dagu yang ia topang diatas kepala wanita itu.

“Aku tidak tau hidupmu sangat sulit, kenapa tidak beritahu aku?” protesnya, sedangkan Suhyeon tertawa hambar, “Bukankah sudah terlanjur? Lagipula, jika kau tau pun, bukankah sama saja kau tidak menjadi prioritasku dalam 6 tahun ini?” Geewoni menggigit bibirnya, lalu memukul bahu lelaki ini kencang. Suhyeon tertawa, “Aku minta maaf... harusnya, aku juga lebih kacau darimu. Tapi, anak itu butuh kewarasan untuk tumbuh.”

Geewoni mendongak, “Dasar bajingan tengik!” umpatnya, Suhyeon membulatkan matanya, “Aku tidak tau kau punya sisi seperti ini.” ia mengejek, sedangkan Geewoni melanjutkan tangisannya——dengan Suhyeon yang masih memeluknya erat.

Apakah ini jawaban yang ia butuhkan? Apa langkah selanjutnya yang harus ia ambil? Geewoni merasa lega karena bukan ia penyebab hancurnya hubungan mereka. Melainkan keadaan Suhyeon yang tidak bisa dijelaskan saat itu. Suhyeon benar, bagaimanapun, dia tetap akan merasa dicampakkan saat itu. Setidaknya, dia sudah tau alasannya. Akan tetapi, hati Geewoni belum tenang sepenuhnya. Apakah ia perlu waktu? Ataukah perlu hal yang lain? Dia tidak tau.

“Detak jantungmu kencang sekali, pak dokter.” kata Geewoni, ia menyadari karena kepalanya bersandar pada dada Suhyeon. Sedangkan laki-laki itu hanya menggeleng, enggan menjawab.





.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.






280424

aloha... gimana ep 15 kemarin? 😇😇😇
tenang ya teman-teman, nanti kita sama-sama samperin Park Jieun jakkanim. Kita demo sama-sama😇🙏🏻

Blissful of Renewal | soohyun jiwonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang