Point 1: Social Deixis

231 18 4
                                    

Rambut ditata rapi sampai tidak ada helaian yang berpotensi menempel di bibirnya yang sekcy. Check.

Pakaian licin dan mulus mengalahkan pantat bayi. Check.

Tidak ada aksesoris atau perhiasan sebanyak milik bos warung Madura. Check.

Sepatu hak pendek sebagai antisipasi jika disuruh salto oleh bos. Check.

Make up penutup wajah-wajah zombie setelah maraton nonton drama Korea. Check.

Kanisha mencium lengan baju area ketiak, kemudian mengangguk saat tidak menemukan bau-bau mematikan yang sanggup membunuh serangga. Sebagai sentuhan terakhir, perempuan itu menyemprotkan parfum beraroma manis yang friendly di hidung ke beberapa titik.

Turun dari taksi, gedung mencakar langit berlogo Laa Foodie menjadi pemandangan pertama yang mengundang decakan. Jika tidak mengingat ungkapan papanya mengenai betapa liciknya antek-antek perusahaan makanan beku bau kencur ini, tentu Kanisha akan ikut menganggumi kemegahan arsitektur gedung bertingkat tersebut seperti yang dilakukan orang-orang. Sampai sekarang dirinya tidak mengerti mengapa khalayak ramai tidak mencurigai perkembangan Laa Foodie yang terlampau pesat, utamanya tiga tahun terakhir. Belum lagi, tersiar kabar Laa Foodie mampu menjalin kerja sama dengan Munchiverse yang notabenenya sangat sulit ditembus para perusahaan 'sepuh'.

Senyum selebar jalan kenangan Kanisha tersungging cantik setiap ada orang yang masuk ke lift. Nasib menjadi kacung, masih fresh from the oven pula, respon yang didapat hanya sekilas-sekilas. Selebihnya ekspresi layaknya peserta ujian CPNS yang mereka tampilkan. Di sudut belakang lift, diam-diam dia memutar bola mata malas. Entah dosa apa yang dilakukannya kepada mendiang sang ibu waktu masih di dalam kandungan, sehingga papanya mengalami kesulitan dan perempuan itu harus menginjakkan kaki di kandang manusia-manusia sombong ini.

Tiba di lantai tujuan, Kanisha keluar sambil mengapit tas dan memeluk iPad. Dia sempat menegakkan kerah kemeja berwarna cerah—secerah langit di luar sana—ketika melewati dinding kaca. Tidak cukup begitu, perempuan itu juga memutar-mutar tubuh seperti putri salju.

"Gila, Kanisha, lo itu sebenernya Princess yang tersesat atau gimana? Cantiknya nggak ada obeng," gumamnya menyengir. "Oke, ini hari pertama lo kerja. Setidaknya kalo lo nggak bisa ngelanjutin karir sebagai guru, lo harus bisa dapetin tabungan berupa suami Chinese kaya raya, anak tunggal, dan pewaris ruko-ruko besar. Dengan begitu, cita-cita lo punya anak-anak sipit bakalan terwujud. Semangat, Kanisha!"

Dia mengepalkan tangan ke udara sebagai penutup. Sebuah pintu hitam yang menjulang seperti harapan orang menjadi tujuan selanjutnya. Kanisha berdeham beberapa kali lalu mengetuk pintu.

"Selamat pag—loh ... kok Bapak yang ada di dalam? Pak CEO-nya ke mana?"

Kanisha terbengong sesaat, lantas celingukan mencari sosok lelaki berperut buncit, berkepala hampir botak dengan kumis tebal, dan pemilik tatapan seperti gadun. Dalam bayangannya, baginda raja yang menduduki kursi kebesaran—yang ukurannya benar-benar besar dan siap menampung satu keluarga—di sana adalah sosok tua yang sedang mencari istri kelima. Namun, yang dijumpainya sekarang justru orang menyebalkan yang meng-interview-nya tempo hari.

"Sudah jam berapa ini, Kanisha?"

Dia mengecek jam di pergelangan tangan. "Setengah delapan, Pak. Apakah Pak CEO sedang sarapan? Berdasarkan jadwal yang diberikan Mbak Diana, Bapak CEO ada pertemuan pukul sembilan, dan jam kerja Laa Foodie itu pukul delapan tepat. Rasanya, saya belum telat. Kenapa muka Bapak kayak monster yang mau nelan saya begitu?"

"Kanisha, kamu mendaftar sebagai asisten pribadi CEO Laa Foodie, tapi tidak tahu siapa orangnya? Apakah sebelum mengirim CV, kamu tidak mencari tahu profilnya terlebih dahulu?" Dengan lugunya Kanisha menggeleng, membuatnya mendengkus keras. "Jadi, seandainya bos kamu adalah bandit dan pembunuh kelas kakap, kamu tetap akan menyeburkan diri tanpa membuka mata?"

Predicate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang