Point 3: Retrospective

110 10 5
                                    

Berakhirnya jam kantor Laa Foodie menjadi kaset film horor tersendiri bagi Kanisha. Pesan yang beberapa waktu lalu sempat digalaukannya karena lebih sering absen dari laman chat, kembali hadir tak diundang. Benar-benar seperti jailangkung. Sayang, efeknya tetap sama. Topeng keceriaan yang sepanjang hari Kanisha pasang sirna, berganti kekusutan tujuh keliling bak cucian yang diacak-acak dan ditindihi kasur.

Hampir sepuluh menit berlalu, tapi Kanisha bergeming di tembok dekat lift sambil mengigiti kuku. Sepasang matanya yang besar tidak lepas dari layar yang menghitam. Batinnya bergejolak antara ingin mengetik balasan atau tidak. Rasa tidak tega masih bergelayut, tetapi membalas pun butuh alasan yang masuk akal. Di sisi lain, Kanisha masih ragu antara menerima tawaran menggiurkan tersebut atau tidak.

Ribet ribet ribet!

Punya pacar selalu merepotkan. Lebih baik punya banyak uang. Perut kenyang, hati puas jalan-jalan dan BM terpenuhi.

Karena kesal berperang batin, kakinya mengentak-entak. Kanisha muak ditempatkan di posisi sekarang. Namun, pelakunya selalu membuat pola yang sama; lama menghilang tanpa kabar, memohon sebuah pertemuan, minta maaf disertai janji-janji manis, kemudian kembali ke setelan awal.

"Sebenarnya sah-sah saja mengenakan sendal dari rumah dan meninggalkan sepatu di kantor. Ada CCTV juga kalau takut hilang. Capek, 'kan, seharian jinjit-jinjit begitu?"

Kanisha berjengit, hampir saja menjatuhkan ponsel kala mendengar suara yang seharian ini tak henti menggentayanginya. Ditatapnya Jeriko yang sedang berdiri menghadap lift ekskutif seraya memasukkan kedua tangan ke saku celana bahan. Penampilannya sedikit messy dibanding tadi pagi. Kemeja navy-nya juga sudah digulung sampai siku, sedangkan rambutnya yang semula ditata rapi ke arah pinggir, beberapa helaiannya sudah jatuh ke kening. Berbeda dengan Miko yang punya kesan seperti aktor dari negeri ginseng, Jeriko ini punya pesona khas yang manly dan dewasa. Orangnya juga tidak sebanyak omong Miko. Suaranya lebih nge-bass dan cenderung bikin ngantuk kalau sedang tidak dalam mode seperti setan.

Kanisha bukan sedang memuja karena seharian ini diperlakukan baik. Memang begitu, kok, keanyataannya jika dipikir-pikir pakai otaknya yang cantik tanpa kepulan asap. Begini-begini standar ketampanan Kanisha tidak kaleng-kaleng. Jadi, jangan diragukan.

"Saya lebih seneng memadupadankan sepatu, tas, dan pakaian, Pak. Nggak kebayang kantor bakalan kayak apa kalo saya harus ninggalin heels di sini. Bisa-bisa saya beli lemari kaca."

Jeriko mengedikkan bahu sekilas. "Up to you. Saran saya, setidaknya kamu harus menyediakan sendal jepit sepasang di meja kamu. We never know the weather and conditions."

"Thanks for your advice."

Daripada ribet, jadi diiyakan saja.

Lawan bicaranya mengangguk. "Turun bareng?"

"Memangnya boleh?"

"Siapa yang melarang kamu?"

Kanisha menggaruk kepala yang mendadak gatal. Kenapa, sih, pertanyaannya sering dibalas pertanyaan seperti ini? Dia gemas ingin meng-hih si bos. Kira-kira kalau suatu hari dirinya kelepasan, Jeriko akan bersikap bagaimana, ya?

"Ayo, Kanisha."

Baiklah, mari menjadi kerbau yang dicucuk hidungnya kembali. Lagi pula, menikmati fasilitas petinggi perusahaan juga bukan hal pertama bagi Kanisha. Sehingga, naik mesin berbentuk kontak yang didominasi kaca dengan fitur layar sentuh sebagai pengganti tombol ini tidak membuat matanya norak dan berkeliaran. Aroma kayu mahoni yang mewah tersaji dengan presentasi eksklusif. Namun, indra penciuman Kanisha selalu salah fokus dengan wangi oriental yang merupakan perpaduan antara citrus, vanilla, amber, woody, dan animalic. Apalagi terjebak dalam ruangan kecil yang tertutup seperti sekarang. Alih-alih kepikiran membalas chat, dirinya justru sibuk menetralkan sensasi aneh di dalam tubuh. Napasnya berulang kali ditahan supaya tidak terlalu banyak menghirup bau-bau yang menurutnya menusuk ini.

Predicate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang