Point 4: Perceptual Predicates

136 16 6
                                    

Jangan sebut Kanisha keturunan Princess Aurora bila tidak melakukan hal di luar prediksi BMKG. Setiap hari dia perlu asupan drama Korea dan niatnya hanya ingin menghabiskan satu episode setelah dinner semalam. Sialnya, episode yang dia tonton adalah bagian konflik dan Kanisha terus menonton sampai tidak terasa pukul empat pagi. Meski belum mencukupi kebutuhan tidur, perempuan itu tetap memaksa memejamkan mata dengan alarm yang disetel pukul lima. Nahas, telinganya berubah tuli dan Kanisha justru terbangun pukul tujuh. Terang saja hal tersebut membuatnya kebakaran jenggot.

Tanpa make up yang proper, baju asal mengambil, rambut hanya disisir sekilas, flat shoes dan tas yang tidak senada pakaian, Kanisha berlari menuju gedung pencakar langit Laa Foodie.

"Tunggu!"

Lift karyawan pasti penuh. Kanisha terpaksa menghentikan pergerakan seseorang yang berada di lift eksekutif. Begitu menginjakkan kaki di dalam, tubuhnya langsung meluruh. Tangannya memegangi dada dan hidungnya berusaha meraup oksigen yang terasa langka seperti sold out waktu flash sale tanggal kembar.

"Astaga, Tuhan, mau mati gue," gumamnya kemudian merogoh tas untuk melihat jam di ponsel—sebab jam tangannya ketinggalan. "Astaga, udah setengah sembilan. Mati beneran gue."

Bahu Kanisha yang sudah setegang kabel listrik, semakin tegang saja. Matanya berair. Kanisha benar-benar akan menangis jika sebuah suara tidak mampir ke telinga.

"Nona Kanisha Janita, ya? Asisten pribadi Jeriko?"

"Ya?" Dengan dahi berkerut, Kanisha berusaha bangun. Biar bagaimanapun ada citra Jeriko yang membayanginya. Segala tindak-tanduknya memengaruhi nama baik si sipit bermata lumpur tersebut. Meskipun terhitung terlambat membangun imej berwibawa, Kanisha berharap sikap ramahnya akan menghipnotis laki-laki paruh baya ini. Kalau perlu sampai tatapannya kosong dan Kanisha dapat mengambil dompetnya leluasa. "Selamat pagi, Bapak. Benar, saya asisten Bapak Jeriko. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Dipikir-pikir, bekerja di Laa Foodie ini seperti cosplay menjadi artis. Tanpa memperkenalkan diri, beberapa orang pasti langsung mengenali namanya. Tampaknya begitu pengumuman diterima Kanisha, ada semacam informasi yang sengaja disiarkan Jeriko kepada khalayak di belakang layar. Bukan masalah. Malah sangat menguntungkan bagi Kanisha yang sangat malas basa-basi.

Lelaki paruh baya itu tertawa kecil melihatnya kelabakan merapikan rambut. "Saya Brata, owner dan founder Laa Foodie. Saya ucapkan selamat datang dan selamat bergabung di sini, ya. Semoga kamu betah."

"Omo omo jinja?" cetus Kanisha refleks memukul bibir. "Maaf, maksud saya salam kenal juga. Terima kasih atas sambutannya dan maaf untuk first impression yang kurang mengenakan."

Oh, ternyata ini owner-nya. Mukanya, sih, kayak orang bener, tapi kata papa beliau termasuk orang yang nggak bisa diremehin. Atau malah Pak Brata ini punya impact paling besar di antara Ervan dan Jeriko? Astaga, kenapa nyawa orang-orang seperti mereka betah berada di dalam tubuh durjana?

Lagi, Brata tertawa. "Kamu lucu sekali. Saya harap, Jeriko memperlakukanmu dengan baik."

"Oh, tentu saja beliau memperlakukan saya dengan baik." Dia balas tertawa garing. Namun, matanya tidak bisa ditahan untuk tidak mengamati lawan bicaranya dari atas sampai bawah.

Sederhana banget penampilannya. Golongan old money atau emang miskin, deh?

Bunyi dentingan menghentikan batinnya yang asyik berjulid. Nyawa Kanisha seperti kembali ke alam roh begitu menjumpai bos besarnya berdiri seolah menyambut mereka. Ralat, bukan menyambut dalam konteks baik, lebih tepatnya menanti untuk menebas leher Kanisha. Lihat saja tatapan di balik kacamata yang lebih tajam dari mulut tetangga itu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 14 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Predicate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang