Point 2: Reference

108 11 3
                                    

Belajar dari kesalahan yang sebenarnya enggan diakui oleh orang suci macam Kanisha sebagai kesalahan, perempuan itu datang ke kantor lebih pagi. Tidak tanggung-tanggung, pukul enam lebih sepuluh menit dirinya sudah menginjakkan kaki di sana. Sambil mengapit tas, menenteng paper bag, lengkap dengan kacamata hitam bertengger di hidung, dia berjalan berlenggak-lenggok bak Gigi Hadid di atas catwalk. Tubuh kurusnya terbalut shirt blouse berbahan silk, sementara kaki kurusnya terbalut heels yang tidak terlalu tinggi.

Kondisi yang tergolong sepi membuatnya melegang masuk tanpa perlu memasang topeng ceria seperti mbak-mbak sales yang sedang mengejar target. Sambil menunggu pintu lift terbuka, dirinya menyelipkan beberapa helai rambut ke belakang telinga.

"Gue udah belajar banyak soal tugas asisten pribadi, termasuk menghapal do and don't yang dia tetapkan kemarin. Kalo sampe si Setan Alas masih complain, gue potek pinggangnya jadi sepuluh."

Sambil menunggu pintu lift terbuka, Kanisha mengamati kuku-kuku jarinya yang baru dipoles cat merah mengkilat. Perempuan yang merasa memiliki darah keturunan Princess Aurora tersebut sengaja mengubah warna dan memendekkan ukurannya untuk berjaga-jaga jika Jeriko akan memberikan tugas di luar nurul yang berpotensi membuat kesayangannya ini patah.

"Menyala sekali abangku, tapi semoga nggak dikomentarin kayak orang abis nyembelih ayam, deh, sama si Setan Alas," gumamnya.

Seseorang turut masuk ke lift saat dirinya melangkah maju. Hidungnya yang sangat disayangkan berukuran mungil seperti hatinya, bergerak-gerak menghidu aroma parfum yang sanggup mencabut akal sehatnya sampai ke tunas-tunas. Dari sudut mata, Kanisha menilai penampilan laki-laki tinggi ber-style curtain haircut dengan beberapa helai rambut yang jatuh ke dahi di sisinya. Lengannya memang tidak berotot bak binaragawan, tapi bibirnya yang merah, alis lebat, bulu mata yang melengkung tanpa perlu dijepit, tulang pipi tinggi, dan hidungnya yang lebih tinggi dari urat malu Kanisha, sukses membuat tubuhnya oleng. Perempuan itu sampai harus bersandar dan memegang dada kala mata belonya dengan lancang terus melirik jakun lelaki itu yang bergerak saat menelan ludah. Seolah belum cukup diterjang penampilan fisik, Kanisha hampir menjerit alay waktu tahu orang ini mengenakan setelan turtleneck yang ditimpa blazer.

Turun dari kahyangan sebelah mana, sih, si kasep ini?

Tak kuasa menahan jiwa-jiwa remaja tanggung yang tersimpan di dalam tubuh, Kanisha berdeham-deham kecil. Aksinya ini cukup membuat sosok di sebelahnya menoleh sedikit. Hanya sedikit, tetapi dia sudah kelojotan seperti cacing kepanasan.

"Gedung ini mau disewa buat syuting, ya? Apa buat pemotretan, Mas?"

Meski sedikit mengernyit, lawan bicaranya tetap menjawab, "Sepertinya nggak. Saya kurang tahu pasti juga. Memangnya kenapa?"

Demi sobat Otan dan Dolpino yang bisa menggonggong! Suaranya yang bisa buat usus getar-getar!

Dia sampai harus meremas paper bag.

"Terus Masnya mau ngapain di sini?"

Kanisha pasti terlihat seperti undur-undur yang bertransformasi jadi cicak sekarang. Pasalnya, bola mata hitam itu menyorotnya aneh.

"Kerja."

Benar juga. Kok otak Kanisha seperti di-flash sale-in, sih?! Malu sedikit, sisanya banyak kalau begini caranya!

Sebelum Kanisha membangun imej lebih baik, suara dentingan terdengar. Dia baru menyadari kalau lantai tujuan mereka sama. Sambil berlari kecil, perempuan itu menyusul sosok model dadakan yang katanya mau kerja di gedung milik Setan Alas ini.

"Loh ... Mas kerja di lantai ini juga? Jadi apa kalo boleh tahu? Saya juga kerja di lantai ini. Walau baru masuk kemarin, tetep aja saya baru ngeliat Masnya. Btw, nama Mas Kasep siapa, sih?"

Predicate Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang