بسم الله الرحمن الرحيم
Aku sudah lelah. Kedua tangan bunda memeluk bahuku, meguatkanku atas apa yang terjadi. Namun, aku tak kuasa melihat ayah terbaring lemah dan dipenuhi alat-alat yang menjadi topangannya untuk hidup. Sayang, aku hanya bisa melihatnya lewat jendela. Andai bisa, aku akan memeluk tubuh lelaki cinta pertamaku dan bilang untuk bertahan lebih banyak lagi.
Dokter menjelaskan bahwa ayah sudah lama terkena penyakit TBC, penyakit menular yang berpotensi serius terutama mempengaruhi paru-paru. Penyakit TBC yang diderita ayah sudah sangat parah itulah mengapa ayah belum kunjung bangun ditambah benturan di kepalanya.
Dokter bilang untuk tenang karena ayah bisa sembuh dengan penanganan medis yang tepat.
Satu hal lagi fakta yang mengejutkan tentang ayah. Ternyata ayah membuat perjanjian dengan dokter untuk tidak memberitahukan kepada bunda mengenai penyakitnya, itu mengapa saat itu dokter hanya berkata bahwa ayah hanya demam biasa. Ini membuktikan bahwa dugaan kami salah mengenai guna-guna. Kami bernapas lega ketika dokter yang terikat perjanjian dengan ayah itu berterus terang.“Kita harus cari tahu siapa yang telah meneror keluarga kita, bunda gak boleh biarin,” erang bunda lagi. Kini giliranku yang memeluk untuk menenangkannya. Bunda merasa terpukul dengan kondisi ayah.
“Bun! Sudahlah yang penting kita tahu bahwa ternyata penyakit ayah bukan guna-guna. Lebih baik kita berdoa untuk kesehatan ayah, ini sudah adzan dzuhur alangkah baiknya daripada kita berprasangka buruk kita salat dan mencurahkan segala masalah pada Allah.”
Bunda terdiam sebentar lalu mengangguk. Aku bernapas lega akhirnya bunda bisa dibujuk juga.
“Arisha lagi udzur dan Mushollanya ada di samping kamar mandi disana bun,” ucapku sambil menunjuk sebuah tempat. Aku berisyarat mata pada Nura dan Bella untuk salat juga sekaligus menemani wanita tercintaku mengadu pada Tuhan.
Lagi. Aku pintar menyembunyikan kesedihanku dari orang-orang. Munafikkah aku berpura-pura baik-baik saja jika saat ini masalahku terus bertambah. Aku kesal dengan diri-sendiri, kenapa jika tak kuat bilang saja, kenapa harus terluka dalam diam. Kekesalanku semakin menjadi ketika tak sengaja tanganku memencet nomer peneror itu.
“Ih, ini tangan kenapa nakal banget sih.”
Apalah daya sudah terlanjur. Memang dari awal aku sudah bertekad untuk tidak membuka nomer peneror itu karena setiap pesannya adalah bentuk penghinaan dan itulah yang membuatku sering melamun sekadang.
Aku kira pemilik nomer itu akan jera setelah aku memblokirnya tetapi aku salah besar. Yang terjadi malah sebaliknya.
Aku menyender pada dinding setelah membaca pesan yang berpuluh-puluh itu sambil membatin. Memangnya siapa yang sangat membenciku sampai berani melontarkan berbagai ancaman seperti ini?
“Oh yah, Harish kok lama banget beli nasinya. Kayaknya udah setengah jam dia pergi,” gumamku pada diri-sendiri.
Aku menelponnya namun sesuai dugaanku. Dia pasti tidak akan mengangkat teleponku dan ini adalah kebiasaan yang sangak tidak aku suka. Aku sangat kelaparan. Daripada mati karena kelaparan aku berniat mencari makanan sendiri daripada menunggu kedatangan seseorang yang tidak pasti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Itu Menyakitkan (On Going)
RomanceKisah ini bukan seperti kisah Sayyidah Aisyah yang hampir dijodohkan dengan kaum musyrikin. Namun, akhirnya dinikahi Rasulullah dengan penuh cinta dan rasa bahagia. Akan tetapi kisah ini tentang seorang wanita yang ingin terbebas dari perjodohan, ta...