DM#04

119 11 1
                                    

"Talita, besok aku kembali ke Bandung."

Talita yang sedang mengunyah makanan di dalam mulutnya sontak berhenti. Ia menatap Taram dengan mata membulat. "Besok?"

Taram mengangguk santai. Ia sudah selesai dengan makanannya sejak tadi. Sekarang, ia sibuk menikmati pemandangan seorang perempuan yang terlihat makan dengan lahapnya. Entah sedang kelaparan atau memang karena makanan yang tersaji cocok di lidahnya.

"Kak, kita baru nikah kemaren banget. Kakak sudah kerja lagi besok? Nggak ambil cuti lama memangnya?" tanya Talita sesaat baru saja menelan habis makanan di dalam mulutnya.

"Seharusnya aku kembali ke Bandung hari ini."

Mendengar jawaban Taram yang tidak sesuai dengan harapannya, wajah Talita spontan berubah murung. Memang apa yang perlu ia harapkan dari Taram? Lelaki itu menikahinya bukan berlandaskan cinta. Seharusnya, Talita mengubur dalam angan-angan hidup bahagia bersama Taram.

"Ya sudah, berarti Kakak balik ke sini di akhir pekan, ya?"

Taram mengangguk ragu. "Tergantung situasi dan kondisi."

Tergantung situasi dan kondisi? Talita menghela napas. Kalau begini ceritanya, mengapa lelaki itu memilih menikah? Akan lebih baik jika ia hidup menjomblo saja selamanya. Apa gunanya memiliki istri, tapi selalu ditinggal pergi?

Belum apa-apa, hati Talita sudah diremas-remas.

"Oh, iya. Kamu tau kan kalau di sini aku punya apartemen dan rumah. Kamu ingin tinggal di mana? Kamu bisa memilih salah satunya dan kalau bisa kita pindah hari ini juga." 

Tidak langsung menjawab, Talita memilih duduk bersandar dengan wajah lemah saat baru saja mendengar Taram selesai berbicara. Apartemen dan rumah? Apa gunanya kedua bangunan tersebut jika tidak ada Taram di dalamnya? 

"Atau kamu mau tetap tinggal di sini?" Taram kembali mengajukan pilihan.

Di sini yang Taram maksud adalah rumah yang tidak dapat dikatakan rumah oleh Talita. Salah satu alasan Talita menikah dengan Taram tanpa berpikir matang adalah karena ia ingin keluar dari rumah itu secepat mungkin. Sejak kecil, ia selalu merasa tidak memiliki kecocokan dengan penghuni rumah itu. 

"Berarti aku tinggal sendirian, dong?"

Taram menggeleng. "Ada Bibi yang bakal nemenin kamu."

Mendengar itu, Talita sontak tersenyum. "Aku pilih apartemen aja. Dekat kampus."

....

Talita berguling-guling di atas kasur. Beberapa kali ia terlihat mengecek ponselnya sambil berdecak kesal. Sudah empat jam sejak kepergian Taram ke Bandung. Namun, lelaki yang ia yakini masih menjadi suaminya itu tidak kunjung mengabarinya. Memangnya, Taram sesibuk apa sih sampai mengabarinya saja sesulit itu?

Tapi, jika dipikir-pikir, ini berbicara masalah prioritas. Taram pasti tidak memprioritaskan dirinya, makanya ia lebih memilih sibuk dengan pekerjaannya.

"Ya Allah, bukakanlah pintu hidayah untuk Kak Taram..."

Tidak ingin berlarut-larut memikirkan Taram, Talita akhirnya keluar kamar. Lebih baik ia mengisi tenaga karena memikirkan banyak hal terutama Taram pasti membutuhkan tenaga yang ekstra.

"Bibi masak apa?" Talita menghampiri wanita paruh baya yang terlihat sedang bermain dengan sutil dan wajan di atas kompor.

"Ini, masak cumi oseng. Kata Den Taram, Nona Talita suka cumi oseng," jelas Bi Rianti dengan senyum ramah.

Talita mengerjap. Wajah yang sejak tadi penuh dengan beban kini lenyap entah ke mana. "Serius Kak Taram yang kasih tau Bibi kalau aku suka oseng cumi?" tanyanya antusias.

Bi Rianti mengangguk. "Iya, Non."

"Kapan Kak Taram bilang?"

"Tadi Den Taram nelfon. Disuruh masakin Nona Talita oseng cumi karena Nona suka makan itu."

"Tadi Kak Taram nelfon?"

"Iya, katanya sudah sampai Bandung."

Mata Talita membulat. Apa-apaan Mutaram! Dia lebih memilih mengabari Bi Rianti dibandingkan dirinya?

Dengan kesal, Talita kembali ke kamarnya. Ia mengambil ponselnya dan menghubungi sang suami. Tidak peduli jika lelaki itu sedang sibuk.

"Halo, Talita. Kenapa?"

Rindu sekali dengan suara ini.

"Kak Taram lagi sibuk? Kok nggak ada kabarin aku sudah sampai apa belum, sih? Aku di sini nungguin tau!" 

Hening beberapa saat sebelum akhirnya terdengar suara Taram dia seberang sana.

"Nggak sibuk. Aku sudah sampai dari tadi."

Singkat sekali. Talita sama sekali tidak puas dengan jawaban singkat Taram. Tidak bisakah lelaki itu berbasa-basi untuk memperpanjang pembicaraan?

"Oh, ya sudah. Itu aja. Kak Taram baik-baik di sana. Dadah...."

Talita sudah akan mengakhiri panggilannya, tapi saat mendengar suara Taram yang buru-buru dalam menyebut namanya sontak mengurungkan niatnya.

"Kenapa, Kak?"

"Emm, kamu nelfon cuma mau bilang itu aja?" tanya Taram seperti sedang berbisik.

"Iyaa..."

Berdehem, Taram melanjutkan, "Oh, ya sudah. Kamu juga baik-baik di sana. Kalau ada apa-apa bisa langsung bilang aku, ya."

"Iyaa, aku tutup. Dadah..."

"Hm, Talita?"

"Iya, Kak. Kenapa?"

Tidak ada suara di seberang sana. Entah ada apa dengan Taram?

"Kak Taram?"

Berdehem. Hanya itu yang Talita dengar. "Kak?"

"Talita..."

"Iya, Kak Taram. Kenapa?"

Lagi-lagi hening cukup lama dan dengan setia Talita tetap menunggu untuk Taram bersuara.

"Nanti malam aku telpon, boleh?" Taram bertanya dengan penuh kehati-hatian.

Boleh banget. Talita menggigit bibirnya dengan senyum yang tidak dapat ia tahan. Ingin ia berteriak. Huaaaaaaaa.......

"Bo-boleh..." Talita berusaha menjawab senatural mungkin.

"Oke, kita ngobrol lagi nanti malam, ya?"

Talita mengangguk antusias meskipun Taram tidak mengetahuinya.  Ia benar-benar bahagia sekarang.

Abaikan suara ketukan pintu dari Bi Rianti yang memanggilnya untuk makan siang. Talita kembali berguling-guling di atas kasur. Ia menatap jam dinding yang masih menunjukkan pukul setengah satu siang.

Masih membutuhkan beberapa jam lagi agar waktu malam tiba. Rasanya sangat lama sekali.

-tbc-

Utamakan membaca Al-Qur'an
Sebaik-baik bacaan adalah Al-Qur'an

01 Mei 2024

DetermineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang