DM#05

70 13 0
                                    

"Kak Taram bohooong!"

Talita menenggelamkan wajahnya di atas bantal. Semalaman ia nyaris tidak tidur karena menunggu Taram menelpon. Nyatanya, lelaki itu penipu ulung. Bahkan, sampai sekarang Taram tidak ada kabar. Hilang entah kemana dan Talita mencoba tidak peduli.

"Sudah, Tal, jangan nangis." Euler mengusap kepala Talita dengan lembut.

Talita sudah menceritakan mengenai janji Taram yang akan menelponnya. Harusnya jika tidak yakin akan menepati lebih baik jangan mengucapkan kalimat yang membuat seseorang berharap, terlebih kepada perempuan seperti Talita.

Euler sangat tahu Talita tidak bisa mendengar janji. Sahabatnya itu seperti anak kecil yang kadang akan menangis tergugu apabila sesuatu yang dijanjikan tidak ditepati.

Dan juga, bisa-bisanya Taram melakukan hal seperti itu kepada Talita. Padahal hanya sekedar menelpon. Apa sesulit itu untuk menyenangkan seorang istri?

"Aku mau ngambek aja sama Kak Taram." Talita berbaring telentang. Ia menatap langit-langit kamar milik Euler dengan mata merah. Sungguh, ia benar-benar kesal dengan Taram.

"Yakin mau ngambek?" tanya Euler dengan nada sedikit meledek.

Talita mendengus. "Yakin! Dia aja nggak peduli sama aku, jadi aku akan coba nggak peduli sama dia."

Talita mengubah posisi berbaringnya menjadi duduk, ia menatap Euler dengan sendu. "Ternyata gini ya rasanya nikah sama orang yang nggak cinta kita balik? Sakit banget," ucapnya lemas.

"Sabar, Tal. Ini juga baru awal, kita nggak tau ke depannya gimana."

Talita memeluk bantal. "Kalau nanti nggak ada perubahan, gue nyerah aja kali, ya? Kan kasian Kak Taram harus hidup sama orang yang nggak dia cinta."

Euler menghela napas panjang. "Tal, kalian sudah nikah. Nggak sebercanda itu lo mau nyerah. Usaha dulu kek buat dia cinta mati sama lo!"

"Gimana mau usaha, ketemu orangnya aja cuma pas weekend. Jakarta Bandung itu menurut aku dekat banget yang nggak bisa dibilang LDR. Soalnya pas Om aku kerja di Bandung, beliau bisa bolak-balik buat ketemu istrinya karena beliau cinta banget sama istrinya. Sudahlah, Kak Taram memang nggak cinta aku. Pas dia sampai Bandung aja yang dikabarin malah Bibi bukannya aku yang jelas-jelas istrinya." Talita mengoceh panjang, ia menatap Euler dan kemudian tersenyum.

"Ul, nanti kamu harus nikah sama laki-laki yang cintanya lebih besar dari kamu, jangan kayak aku, ya."

Euler hanya mengangguk mendengar petuah dari Talita. Padahal, sejak Talita berniat menerima lamaran Taram, Euler telah memperingatinya dengan berbagai macam gaya bahasa agar sahabatnya itu mengerti, tapi Talita tetap dengan pendiriannya yang begitu yakin bahwa cinta di hati Taram akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Selain itu, cinta tidak bisa dipaksa dan Talita berniat tidak akan memaksa Taram untuk mencintainya. Namun, lihatlah sekarang, belum apa-apa, sahabatnya itu sudah mengeluh dan berencana ingin menyerah.

Teori memang terkadang melenceng jauh dari praktik.

....

Melaju pelan bersama motor matic yang ia kendarai, Talita tidak langsung pulang melainkan pergi mengunjungi peristirahatan kedua orang tuanya. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat tersebut adalah saat ia dan Taram meminta restu untuk menikah.

Setelah memarkirkan kendaraan roda dua miliknya, Talita menatap langit yang mulai menggelap. Semoga tidak hujan dalam waktu dekat karena ia ingin berlama-lama melepas rindu bersama kedua orang tuanya.

"Assalamualaikum ya ahlal quburi, yaghfirullahu lana wa lakum antum salafuna wa nahnu bil-atsar."

Talita melepas sepatu yang ia kenakan, kemudian memasuki area pemakaman. Sore ini, angin berhembus kencang, daun-daun kembali berguguran. Talita berjongkok, menyingkirkan daun-daun kering yang menutupi permukaan makam kedua orang tuanya, lalu menggantikannya dengan bunga-bunga harum yang ia racik sendiri pada saat di apartemen.

Cukup lama Talita di sana, menceritakan banyak hal terutama mengenai Taram yang saat ini tidak datang menemaninya untuk berkunjung. Doanya memang terkabul untuk tidak mendatangkan hujan dalam waktu cepat, tetapi saat dalam perjalanan menuju pulang, hujan deras seketika mengguyur. Mau tidak mau, Talita menepikan motornya untuk berteduh dan berlari menuju Cafe Bakso yang kebetulan sekali tepat di area pemberhentiannya.

"Mas, pesan bakso jumbonya 2 porsi, air mineralnya satu. Satu porsi makan di sini, satu porsinya dibungkus." Talita menyebutkan pesanannya. Tak lupa, ia juga memesan untuk Bi Rianti yang sekarang pasti telah menunggu kepulangannya di apartemen.

Hari telah masuk waktu maghrib dan hujan juga belum reda. Setelah menandaskan satu porsi bakso jumbo seorang diri, Talita akhirnya bisa menghela napas lega. Baru kali ini ia kewalahan menandaskan salah satu makanan favoritnya.

"Perut sudah terpenuhi kebutuhannya. Masya Allah, Alhamdulillah." Talita bergumam sendiri, lalu melangkah malas-malasan menuju kasir untuk membayar pesanannya. Setelah itu, ia mencari masjid terdekat untuk menunaikan ibadah. Cukup lama Talita berada di masjid, ia baru keluar dari tempat ibadah tersebut saat telah menunaikan shalat isya.

Pada awalnya ia berniat langsung pulang, mandi, dan beristirahat setelahnya. Namun, melihat toko buku yang berada di seberang sana membuat mata Talita silau seketika. Abaikan sejenak satu bungkus bakso jumbo yang telah mendingin. Ia ingin memborong novel-novel yang telah ia incar sejak lama. Dulu, untuk memenuhi segala keinginannya sangat terbatas. Sekarang, tidak lagi, ada Taram yang akan memakmurkan taraf kehidupannya.

Jadi, daripada galau memikirkan Taram yang tidak mengabarinya, lebih baik Talita berfoya-foya untuk menyenangkan hati.

"Kita habisi uang Kak Taram dengan novel-novel. Haha..." Talita tertawa jahat. Langkah kakinya terasa ringan saat menuju toko buku. Setelah ini, pikirannya akan terbebas dari namanya Taram. Ia akan menyibukkan pikirannya dengan novel-novel teka teki yang membuatnya pusing tujuh keliling.

...

Talita menenteng totebag yang berisi beberapa novel masuk ke dalam apartemen. Ia melangkah ringan sambil bersenandung kecil. Otak di dalam kepalanya telah menyusun rencana untuk menghabiskan waktu bersama novel-novel kesayangannya. Tidak akan ada yang menganggu. Talita tersenyum lebar membayangkan hal tersebut.

Namun, saat menapaki ruang tamu di apartemen tersebut, senyum Talita seketika sirna. Ia mengerjapkan mata berulang kali saat tatapannya jatuh kepada dua sejoli yang duduk tegap di atas sofa sedang menatapnya diam. Kemudian, tatapannya bergeser ke arah Bi Riana yang tampak memucat dengan tatapan khawatir.

"Kalian kenapa?" tanya Talita, heran. Ia berdiri bingung dengan kedua tangan yang masih menenteng totebag dan satu porsi bakso.

"Heun, Euler, kok kalian bisa ada di sin-"

"Talita, kamu darimana?!"

Tegas dan tajam. Kepala Talita langsung memutar ke samping, arah sumber suara.

"Loh, Kak Taram kok di sini? Ini kan bukan akhir pekan?" tanya Talita lolos begitu saja. 

Tatapan Taram langsung menyorot tajam. "Kenapa kalau aku di sini? Kalau bukan akhir pekan, kamu bebas keluyuran malam kayak anak hilang?!"

-tbc-

23 Mei 2023




Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DetermineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang