DM#01

324 19 5
                                    

"Apa kamu mau menikah denganku?"

Talita mengerjap beberapa kali memastikan telinganya dalam keadaan baik-baik saja.

"Bisa diulang lagi, Kak?" tanya Talita benar-benar memastikan bahwa ia baru saja tidak salah dalam mendengar.

"Apa kamu mau menikah denganku?"

Talita terdiam nyaris berhenti bernapas. Ia hampir dibuat mati terduduk oleh laki-laki di depannya. Tanpa basa-basi, bertele-tele atau apa pun, laki-laki itu dengan seenak ice cream langsung berucap mengajaknya menikah.

"Aku tidak bisa berlama-lama di sini. Jawablah selagi aku masih punya waktu."

Talita mengerjap. Lamaran macam apa ini? Mengapa tidak ada romantis-romantisnya?

"Apa kamu menerima lamaranku?"

Talita menarik napas lalu menghembuskannya.

"Sebelumnya, aku ingin menanyakan beberapa hal terlebih dahulu ke Kakak," ucap Talita seraya meredakan degupan jantungnya yang makin menggila.

"Silakan, tapi jangan terlalu banyak. Aku harus segera ke Bandung setelah ini."

Talita kembali menghela napas, ada sedikit rasa nyeri di dalam hatinya. Laki-laki itu seperti tidak berniat untuk menyatakan lamarannya. Terkesan buru-buru dan tidak sabaran. Talita sama sekali tidak menginginkan lamaran yang seperti itu.

"Kenapa Kakak tiba-tiba mengajak aku menikah?"

Jari jemari Talita saling meremas.

Dia, laki-laki yang bernama Taram menatap Talita dengan cermat. "Kamu satu-satunya perempuan yang baru aku kenal, tapi bisa buat aku merasa nyaman."

Hanya itu? Bukan jawaban seperti itu sebenarnya yang Talita inginkan.

"Apa Kakak mencintaiku?"

Sekarang giliran Taram yang menghela napas mendengar pertanyaan Talita. "Belum. Aku ngga mau bohong, tapi aku memang belum mencintai kamu. Maaf."

Talita kembali merasakan gelenyar menyakitkan. Tidak bisakah Taram berbohong sedikit?

Talita menyesal karena telah menanyakan hal itu. Ia sangat tahu untuk siapa cinta laki-laki itu.

Talita menatap Taram, berusaha menutupi rasa sakit yang sekarang ia rasakan. "Aku kuliah di Jakarta dan Kakak bekerja di Bandung. Siapa yang akan mengalah? Aku baru semester enam, jadi-"

"Setelah menikah kamu bisa tetap tinggal di sini untuk berkuliah." Taram menyela dengan cepat.

"Lalu pekerjaan Kakak?"

Taram tersenyum. "Dan aku akan tetap bekerja di Bandung."

Talita menatap Taram dengan tatapan tak terpacaya. Semudah itu kah? Lalu apa arti pernikahannya?

"Bagaimana dengan kita?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Talita.

"Kita masih bisa bertemu di setiap akhir pekan."

Talita diam tidak bisa berkata-kata. Menikah, tapi tetap menjalani kehidupan masing-masing. Siapa yang menginginkan hal seperti itu? Tentu, Talita sama sekali tidak menginginkannya. Ia selalu memimpikan kehidupan pernikahan yang serba indah dengan laki-laki yang ia cintai dan juga mencintainya. Namun sayang, laki-laki itu mengajaknya menikah bukan berlandaskan cinta.

"Aku harap kamu mau menikah denganku," ucap Taram sambil menatap Talita penuh harap.

"Maaf, Kak, aku belum bisa jawab sekarang." Talita berdiri lalu melangkah cepat meninggalkan Taram yang duduk termangu.

Talita masuk ke dalam taksi yang baru saja ia hentikan. Airmatanya lolos begitu saja. Laki-laki yang ia cintai memang mengajaknya menikah, tapi mengapa itu terasa sangat menyakitkan?

-tbc-

~Utamakan membaca Al-Qur'an~

04 Februari 2024

DetermineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang