Hampa

44 4 0
                                    

Setelah bangun dari kenyataan pahit semalam, aku merasakan kekosongan di dalam diriku. Sudah tidak ada Laura lagi di hidupku. Aku mencoba untuk melupakannya dan menjalani hari seperti biasa, namun aku teringat akan Laura yang selalu membantuku di kehidupan sehari-hariku. Aku ingin Laura berada lagi di sisiku sekarang ini, tapi aku harus menerima semua kenyataan pahit ini. Setelah sebulan berlalu, aku sudah merasa lebih ringan. Aku mulai bisa sedikit demi sedikit melupakan Laura, namun kadang aku masih saja rindu kepadanya.

Suatu hari, aku dan teman-temanku sedang berkumpul di kafe, kami tertawa setelah aku menceritakan hubunganku dengan Laura. Suasana terasa ringan meskipun topik pembicaraannya cukup berat.

"Jadi, Laura memutuskan hubungan kalian karena apa, sih?" tanya Alex, salah satu temanku, sambil menyeruput kopi.

Aku menghela napas. "Dia merasa kita terlalu berbeda. Katanya, kita sudah tumbuh ke arah yang berbeda dan itu membuat dia merasa tidak bisa melanjutkan hubungan ini."

Jessica, teman lainnya, mengerutkan dahi. "Wah, berat juga. Padahal kalian sudah bersama cukup lama, kan?"

"Iya," jawabku, mengangguk pelan. "Rasa sakitnya masih terasa, tapi aku coba untuk terus melanjutkan hidup. Teman-teman di sini banyak bantu aku."

Ketika kami melanjutkan obrolan, Dani tiba-tiba menoleh ke arah pintu kafe. "Eh, Nathan, kamu tahu gak? Itu Laura di sana, sama pria lain!"

Aku menoleh dengan cepat. Jantungku berdegup kencang saat aku melihat Laura tertawa dan bercanda dengan pria yang tidak kukenal. Rasanya seperti seluruh dunia berhenti sejenak.

"Apakah itu benar?" tanyaku, tidak percaya.

"Sayangnya iya," kata Tim, yang juga memperhatikan. "Aku lihat mereka beberapa menit yang lalu. Mungkin kamu harus pergi kalau kamu merasa tidak nyaman."

Tanpa kata, aku bangkit dan meninggalkan kafe. Aku tidak mampu menahan rasa sakit yang menusuk saat melihat Laura bersama pria baru itu. Aku keluar dan berjalan tanpa tujuan, mencoba mengumpulkan kembali kepingan-kepingan diriku yang hancur. Angin malam yang dingin menghembuskan kesenduan, seakan menggambarkan perasaanku yang rapuh. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, seolah-olah ada beban besar yang mengikatku.

Di taman yang biasanya kami kunjungi bersama, aku duduk di bangku yang pernah menjadi saksi tawa dan cerita kami. Keheningan taman semakin mempertegas kesendirian yang kurasakan.

Aku berbicara pada diriku sendiri dengan suara pelan, "Apakah benar Laura begitu mudah melupakanku? Apakah semua kenangan kami bersama tak berarti baginya?"

Air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku mencoba untuk menahannya, tapi akhirnya mereka jatuh juga, membasahi pipiku. Aku berpikir tentang masa depan, tentang bagaimana aku harus melanjutkan hidup tanpa Laura. Rasanya seperti kehilangan bagian dari diriku sendiri.

Aku berusaha menghibur diriku sendiri dengan ucapan, "Mungkin ini memang yang terbaik. Jika dia lebih bahagia dengan orang lain, aku harus bisa merelakannya."

Di tengah kesedihan itu, ada sesuatu yang mulai tumbuh—mungkin sebuah kesadaran bahwa meskipun sakit, hidup harus terus berjalan. Saat itu, aku memutuskan bahwa aku harus benar-benar melepaskan Laura. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk kebahagiaannya.

Aku pulang ke rumah malam itu dengan hati yang berat, tapi dengan tekad baru. Aku tahu bahwa ini tidak akan mudah, mungkin akan ada malam-malam panjang yang diisi dengan kerinduan dan air mata, tapi aku percaya bahwa seiring jalannya waktu, luka ini akan sembuh. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan bisa melihat kembali masa-masa indah kami tanpa rasa sakit, hanya dengan rasa syukur bahwa aku pernah mencintai dan dicintai oleh seseorang seperti Laura.

TBC

Kisah Cinta Remaja Yang RumitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang