07. Racun berbahaya

247 32 31
                                    

★★★["Takdir itu membingungkan. Namun, sayangnya apapun yang terjadi adalah takdir. Mau itu baik atau buruk semuanya saling melengkapi. Ada kebahagiaan maka ada juga kesedihan. Dunia ini penuh akan Enigma."]★★★

#Happy Reading#



Wisma kencana : Raden Kian Santang

Setelah pertemuannya dengan salah satu Raka kembarnya Raden Kian Santang kembali ke wismanya.

"Alhamdulillah ya Allah Terimakasih untuk kebahagiaan yang engkau berikan pada hamba hari ini, hamba sangat bahagia. Hamba dapat berkumpul kembali dengan Raka yang begitu hamba rindukan, terimakasih ya Allah."

Saat ini Raden Kian Santang baru saja selesai melaksanakan sholat dhuhur sebagaimana kewajibannya yang merupakan seorang muslim.

Setelah berdoa Raden Kian Santang merapikan peralatan sholatnya dari kopiah dan sajadah yang diletakkan kembali ke tempatnya semula.

Raden Kian Santang duduk disisi ranjangnya lalu tidak lama seorang emban membawakan minuman untuknya dan meletakkan disampingnya.

"Sampurasun Gusti Raden." Ujar seorang emban yang bernama emban Deyati.

"Rampes, Ada apa?" Tanya Raden Kian Santang saat melihat emban Deyati memasuki wismanya.

"Hampura Raden, hamba membawakan Susu hangat yang anda minta raden." ujarnya.

"Hmm ya, Terimakasih emban." ujar Raden Kian Santang yang lalu meminum susunya dengan tenang.

selang beberapa detik Raden Kian Santang merasakan panas pada tenggorokannya membuatnya terbatuk dan menjatuhkan gelas pada genggamannya.

Prankk

"Uhuk- hahhh, kau si-a-pa sebenarnya? Uhuk-aghhh, As-taghfiru-llahaladzim ya Allah." Erangnya yang memegang lehernya.

Bruk

Tubuhnya meluruh ke lantai. Nafasnya tercekat ditambah penglihatannya benar benar memberat lalu semuanya gelap.

Raden kian Santang kehilangan kesadarannya dengan mulut yang mengeluarkan busa. Emban Deyati lantas membersihkan busa yang berada dibibir Raden kian Santang menggunakan selembar kain yang telah dia siapkan terlebih dahulu.

"Selamat tidur panjang Gusti Raden maafkan hamba." lalu emban Deyati membaringkan tubuh Raden Kian Santang ke atas tempat tidurnya dan menyelimutinya. Seolah tidak terjadi apa-apa lalu membersihkan pecahan gelasnya dan meninggalkan wisma Raden Kian Santang.

Membiarkan tubuh Raden Kian Santang mendingin seiring berjalannya waktu dengan bibir yang membiru dan wajah yang mulai pucat pasi.

Sekilas terlihat seperti orang tidur pada umumnya walau nyatanya saat ini Raden Kian Santang dalam keadaan diantara hidup dan mati.

Waktu berjalan begitu cepat hingga malam hari tidak ada yang menyadari apa yang dialami Raden Kian Santang.

AULA KEMBANG (Jamuan makan malam)

Raden Abikara terlihat gelisah ditempatnya, beberapa kali menoleh kearah pintu masuk Aula dengan pandangan yang sulit diartikan walaupun semua itu tertutup sempurna dengan wajah datarnya.

Disisi lain para putra putri Padjajaran menatap bingung saudara mereka.

"Rayi Abikara, kenapa tidak menyentuh makananmu?" Raden Walangsungsang mencoba menegur salah satu adik kembarnya yang baru siang tadi akhirnya kembali keistana.

"Kalian lanjutkan saja perjamuannya, Aku akan ke wisma Rayi Kian Santang, ucapan emban Kenanga tidak bisa aku percaya Raka. Assalamualaikum, Sampurasun." Abikara lantas bergegas pergi dari Aula setelah berpamitan dengan keluarga istana yang lain.

"Waalaikumussalam, Rampes. Rayi Abikara." Raden Walangsungsang menghela nafasnya melihat sikap rayinya Abikara.

"Rayi Abikara semakin dingin, Rayi walangsungsang apa kau tahu penyebabnya?" Raden Gagak ngampar menatap Rayi seayahnya itu dengan pandangan bertanya.

"Rayi Abikara memang seperti itu sejak kecil Raka, Dia hanya akan tersenyum didepan kedua rayinya saja atau pada para raka kembarnya, semenjak Rayi bungsu kami menghilang sifatnya semakin dingin hari demi hari." Rara Santang menjelaskan bagaimana Raden Abikara.

"Rayi Abikara, tidak akan mudah didekati, dia banyak menerima kebencian saat masih kecil dulu, banyak prajurit yang meremehkannya. Hingga saat itu terjadi emosinya yang meledak, hampir setengah prajurit Padjajaran sekarat dibuatnya." Raden Walangsungsang ikut menjelaskan bagaimana rayinya Abikara.

Jika kita membahas tentang raden Abikara, sebenarnya sifatnya tidak jauh berbeda dengan sifat raden Abiyasa. Pendiam namun tatapan matanya yang begitu tajam membuat musuh berpikir dua kali lipat untuk membuat masalah dengannya.

Sedari kecil raden Abikara memang hidup diluar istana tidak seperti rayinya Kian Santang yang memang besar didalam istana Padjajaran.

Raden Abikara bersama rayi bungsunya juga para raka kembarnya sejak berumur enam tahun memang sudah pergi meninggalkan istana Padjajaran dengan alasan memperkuat ilmu kanuragan masing-masing.

Kini disisi raden Abikara merasakan sesuatu yang buruk menimpa para saudaranya. Untuk memastikannya raden Abikara melakukan telepati pada para saudaranya. Namun, saat mencoba menyambung telepati kepada rayi bungsu pertamanya, tak kunjung ada jawaban. Hal itu membuatnya bergegas menuju wisma rayinya kian santang.






BRAKKK




Raden Abikara mendobrak pintu wisma begitu saja hingga dua prajurit penjaga terkaget dan menghampirinya. Namun, tatapan tajam raden Abikara membuat keduanya membeku.

"Sial! Rayi kian santang!" Raden Abikara langsung menghampiri ranjang raden kian santang, dan benar dugaannya bahwa ada sesuatu terjadi kepada rayinya.

Waduh ada yang buat Raden kian santang luka, Kira-kira siapa ya dalangnya?

Hmm..... Clue nya Yang terlihat baik belum tentu hatinya juga baik.....



Hai readers bertemu lagi dengan Author semoga suka dengan part kali ini.

Jangan lupa vote dan commmentnya.

Komen! Wajib! ya gaess biar semangat Authornya wkwkwk.


Ketemu lagi dengan Author dichapter selanjutnya

Jangan bosen bosen ya! Pantengin aja terus hingga end

Up sesuai mood Author

Oke ketemu lagi kapan kapan see you gaess!!!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Life of Prince & Princess Padjadjaran Kingdom {Prahara Padjajaran}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang