Jumi bediri di depan bangunan itu, menatap intens pada pintu masuk yang berwarna hitam. Bulu kuduknya berdiri, rasa ngeri menyebar di seluruh kulitnya. Takut, itulah yang dirasakannya.
Sesaat, ia tertawa kencang, heran mengapa khawatir tanpa alasan. Dirinya datang ke pesta pertunangan pria yang telah membuat keputusan sejak lama, dan hari ini sangat dingin hingga tangannya pun membeku, lalu dengan bodohnya ia membayangkan sesuatu yang tak pasti, membesarkan hal itu, bahkan meragukan ilusinya.
Kurasa aku hanya lelah. Aku harus segera masuk dan berendam dengan air hangat.
Saat memikirkan hal itu, ia mendengar sebuah nama familiar dari belakangnya.
"Jumi."
Jantungnya berdetak kencang karena terkejut, lalu menoleh ke belakang.
"Ibu!"
Gyeong Ah keluar dari kursi penumpang mobil hitam yang terparkir di gang gelap.
"Apa yang kau lakukan jam segini, bahkan tidak mengangkat telepon? Mengapa kau baru pulang sekarang?" Ibunya merapikan mantel bulu putih yang menutupi seluruh tubuhnya, berjalan cepat ke arah Jumi, dan melihat telinga Jumi yang dingin dan memerah.
"Kapan kau sampai, Ibu? Maksudnya, mengapa kau datang selarut ini?"
"Ibu datang untuk berbicara denganmu. Apa kau habis minum?"
"Sedikit."
"Ayo, masuk. Di sini dingin."
Gyeong Ah yang membuka pintu rumahhya, padahal Jumi selaku pemiliknya bahkan bimbang untuk masuk. Jumi menyeduh dua cangkir teh hangat dan menawari ibunya yang tengah melihat-lihat dekorasi sederhana rumahnya meskipun tidak banyak yang bisa dilihat.
"Inilah mengapa ibu tidak ingin melepaskanmu pergi," Gyeong Ah bergumam seolah bersedih.
Setelah meminum tehnya, wanita itu meletakkan cangkir itu kembali ke tatakannya. Tampaknya ia telah menunggu cukup lama di depan rumahnya tadi.
"Jadi, apa yang terjadi?"
"Apa maksud Ibu?" Jumi bertanya, terkejut atas pertanyaan itu.
"Kencan butamu. Apakah berjalan baik?"
"Aku sudah memberitahu hal yang sama ratusan kali. Itu berakhir begitu saja. Kami tak berencana bertemu lagi."
Gyeong Ah yang dari tadi menahan ucapannya, menyingkirkan cangkir teh dan menggeser duduknya lebih dekat ke anak perempuannya. Melihat itu, Jumi yang meminum tehnya dalam diam, mulai menatap curiga ibunya.
"Bagus kalau begitu. Aku sudah mengatur kencan untukmu akhir pekan ini. Datang dan temuilah dia."
"Siapa?"
"Putra sulung Direktur Rumah Sakit Haeseong. Jika aku tahu ayahmu akan melakukan ini, aku pasti sudah menghentikannya saat dia berkata kalau kau akan kencan buta dengan pria itu. Bagaimanapun, kupikir dia akan menerima putra direktur rumah sakit kalau ayahmu mengenalnya lebih dulu."
"Ibu---"
"Aku memilih menantuku. Aku punya hak untuk itu juga. Aku tidak ingin menantu seperti ayahmu. Seorang gangster! Biarkan aku bernapas juga. Beraninya ayahmu menjadikanmu korban politiknya dengan melibatkanmu dalam urusan perusahaan? Apalagi, putriku satu-satunya, berani-beraninya dia!
Kau tidak ingin ayahmu mendengar tentang putra direktur rumah sakit, 'kan? Dan juga, kau sudah memutuskan untuk menjadi menantu direktur rumah sakit, 'kan?"
Jumi meletakkan cangkir teh yang dari tadi dipegangnya. Namun, cangkir teh yang hanya setengah masuk ke dalam tatakannya, malah terjatuh dan tumpah. Gyeong Ah terkejut, mengeluarkan sapu tangan dan membersihkan ujung roknya yang terkena percikan teh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Absolute Threshold
Romance"Sepertinya aku telah memberikanmu waktu yang cukup untuk menyelamatkan diri." Jika aku melarikan diri saat itu, apakah aku tidak akan bertemu pria ini? Tidak, kami pasti akan bertemu lagi, seperti sebuah peristiwa buruk yang tidak dapat dihindari...