Satu : Profesor Seks

144 12 3
                                    

"Testpack dan kondom adalah saksi bisu dari tragedi besar di kehidupan orang yang belum menikah."

🤰🤰🤰

Aku membuka pintu kamar mandi dengan tangan gemetar. Gemuruh detak jantung memperparah kondisi dada yang sudah berkedut. Mataku panas dan bahuku setegang meteran listrik yang mencapai batas maksimum. Kutatap Anti yang duduk di ranjang dengan sorot gusar.

Wanita itu beranjak melihatku keluar dari bilik. Bibirku berkerut, pipi menggembung.

"Dua garis." Aku mendesah seraya menunjukkan testpack padanya.

Dapat kudengar helaan napas Anti yang tersengal. Dia mengambil testpack dari tanganku, memastikannya, kemudian meletakkan alat itu bersama tumpukan testpack sebelumnya. "Te-tentu saja hasilnya dua garis, orang testpack-nya buatan China." Dia menatapku gugup.

"Ini testpack yang ketujuh, semuanya dua garis." Entah mengapa rasa kesal justru kulimpahkan kepada sahabat karib yang tahu segala hal mengenai harum-buntangku.

Anti meremas pipi dan mengambil kotaknya. "Semua ini buatan China. Tentu hasilnya ngaco. Masukkan saja testpacknya ke air kencing Rudi, hasilnya tetap dua garis, percaya deh. Kita harus membeli produk Jerman." Anti sudah mengemas dompet dan tasnya, bersiap untuk pergi. Lagi.

"Sudahlah," decakku putus asa. "Yang ini buatan Jepang dan hasilnya dua garis. Nggak ada guna."

"Hei," teriaknya dan langsung menahan suara agar orang tuaku tak mendengar. Nampaknya Anti lebih pengertian jika mamakku memiliki jantung koroner dibandingkan aku sendiri. "Kau lupa slogan Nippon cahaya Asia, Nippon pelindung Asia?"

Alisku bertaut, dia mulai melantur. "Lalu?"

"Itu artinya jangan pernah percaya Jepang." Anti menggeleng kuat. "Sekarang berangkat, kita cari testpack Jerman dan hasilnya pasti satu garis. Aku jamin." Suaranya cepat dan memburu. Untuk beberapa saat, aku merasa jika Antilah yang saat ini kebobolan. Bahkan aku melihat keringat dingin di dahinya.

"Percuma, wong udah tujuh kali tes hasilnya sama."

"Tapi, Nay—"

"Stop curigaan dengan produk China, kecuali kalo hasil yang kita dapat beda-beda." Aku menghela napas dan membungkus tumpukan testpack beserta kotak-kotaknya agar Mamak tidak menaruh curiga jika benda itu ada di kamarku. Apalagi dengan hasil dua garis. Tidak mungkin mengkambing hitamkan Anti yang hamil karena satu komplek tahu jika dia mandul.

Anti meremas-remas pipi dan berjalan mondar-mandir. Pandangannya berlarian ke segala arah seakan dialah bapak dari benih yang ada di rahimku.

"Anti stop! Ntar Rudi malah curiga, terus ngadu ke Mamak Bapak."

"Kamu sih!" bentaknya dengan mata membulat. "Mentang-mentang udah bebas pandemi langsung maen ke OYO aja. Pake kondom gaksih?"

"Pake." Suaraku serak.

"Pasti buatan China sampe-sampe bocor. Seharusnya cari yang lateksnya kuat, yang tebel."

Mataku terpejam mengingat bagaimana bodohnya aku yang iya-iya saja ketika Bang Bayu membujuk rayu. Delapan tahun berpacaran rasanya biasa saja, maksudku aku melihat dia sebagai cowok ganteng yang ... yeah, sebatas pacar.

Namun setahun LDR pandemi dan bertemu lagi secara langsung setelahnya, pesona Bang Bayu seakan berlipat ganda. Dia benar-benar terlihat matang. Mungkin karena faktor kepala tiga. Lalu aku berpikir pendek untuk menerima ajakannya, padahal selama ini kami ciuman saja hampir tak pernah.

"Bisa nggak, kita gak perlu main salah-salahan dan pikirin solusinya?"

Anti menjentikkan jari. "Minta cuti," katanya tanpa berpikir dua kali. "Kita minta cuti, lalu ke Singapura. Di sana aborsi sudah legal."

KebobolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang