EMPAT : Menendang Kemaluan

19 0 0
                                    

"Ada satu jenis LDR baru, yaitu LDR Kepastian. Di mana satu pihak sudah yakin, tapi pihak lain misuh-misuh dan bilangnya : Kita jalani aja dulu!"


"Aku akan segera memberitahu Bang Bayu mengenai masalah ini, tapi pliss, Dewa, jangan kasih tahu Mamak Bapak dulu ya."

Napasku tersendat mengingat ucapan terakhirku kepada Dewa pagi ini. Dia tidak terlihat mengangguk ataupun menggeleng setelahnya. Dia diam. Wajahnya kusut seakan menahan gejolak tertentu.

Percayalah, aku merasa serba salah. Bahkan ketika meringkuk di kubikelku dan berpura-pura menyelesaikan data pembayaran kemarin pun, aku masih merasakan sesuatu mengganjal di tenggorokanku. Dewa memang sedikit sensitif terkait masalah rahasia-rahasiaan.

Namun di samping itu semua, Anti ternyata berbohong kepadaku.

"Maaf banget, Nay, maaf banget." Suaranya bergetar di ujung sambungan. "Kemarin itu aku dan Bang Bayu lagi menghubungi Rudi untuk datang ke rumah sakit, tapi rupanya Dewa sudah bicara dulu dengan dokter. Dia ngakunya suami kamu."

Astaga. Aku berdecak dam memijat pelipis. "Bang Bayu?"

"Bang Bayu belum tahu. Tapi aku minta ke Dewa untuk rahasiain dulu." Aku yakin saat ini Anti sudah gelagapan jika menilai dari nada suaranya yang naik turun.

"Kenapa tidak mengatakannya dari kemarin?"

"Kemarin kan kamu masih kurang sehat, takutnya malah pingsan lagi." Terdengar embusan napas berat dari seberang sana. "Tapi kamu bakalan kasih tahu Bang Bayu kan, Nay? Takutnya Dewa nggak bisa nyimpen ini lama-lama. Tahulah kan dia gimana orangnya?"

Ya, aku tahu.

Semenjak kejadian batal nikah kemarin, Dewa menjadi orang yang super jujur. Dia sadar kalau memendam masalah dari orang-orang sekitar yang berhak tahu, justru akan menyakiti semuanya. Jadinya, dia kerap mengatakan apa saja permasalahan yang sepantasnya tidak dibiarkan berlarut-larut. Salah satunya ketika memergoki suami Anti di Hotel Santika bersama perempuan lain.

Sampai kapan kira-kira Dewa bisa menahan rahasia ini? Sehari? Dua hari? Intinya tak akan bertahan lama. Untuk itu, sebelum masalahnya meluber ke mana-mana, ada baiknya aku bicara langsung kepada Bang Bayu.

Lagipula ini nampaknya waktu yang tepat. Sudah bertahun-tahun kami menyusun rencana keuangan bersama, setransparan mungkin. Meskipun belum mencapai garis finis, tapi bukan masalah besar jika kami memangkasnya terlebih dulu. Demi kepentingan bersama.

Demi bayi-bayi ini.

Bang, nanti sore ketemuan yaa. Aku mau ngomong sesuatu.

Pesanku langsung dibalas jempol oleh Bang Bayu.

Ketika jam makan siang, Dewa tiba-tiba mendatangi ruangan Staf Departemen Bagian Umum. Cukup mengherankan ketika wajah kusutnya tadi pagi sudah hilang. Dia tersenyum lembut dan melambaikan tangan ringan kepadaku.

"Yok makan," katanya setelah menyambangi kubikelku yang keadaannya seperti kapal Titanic. "Kamu belum sarapan kan, jangan sampai kelewatan makan siang."

Aku mengerjap dan tersenyum ragu. "Udah nggak marahan, nih?"

Laki-laki itu menghela napas dan memalingkan pandangan ke sekeliling, kemudian kembali menatapku. "Ya mau gimana lagi, Nay. Udah kejadian."

Tatapanku meredup. Iya, sudah kejadian. Dan yang harus kulakukan saat ini adalah meluruskannya. Menghindari kesedihan yang berlarut, aku bangkit dari kursiku dan mengekori Dewa menuju kafetaria di lantai dasar. Laki-laki itu sempat menanyakan keadaanku yang memang kurang enak mencium aroma-aroma di sana.

KebobolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang