"Ketika keluargabesar terlibat, rencana yang disusun selalu benting setir."
Pulang di waktu magrib dengan keadaan seperti kerbau yang habis berkubang, aku tak terkejut ketika orang-orang rumah bertingkah lebay. Seperti biasanya. Kusembunyikan wajah di balik punggung Anti selagi wanita itu menuntunku menuju kamarku sendiri.
"Kami pulang," kata Anti, mewakili suaraku. Aku buru-buru mengekori dan tertunduk dalam di balik bahunya.
"Eh Anti?" Suara Mamak langsung menyambut. "Naylanya mana?" Tanpa harus Anti menjawab, aku yakin Mamak sudah menjulurkan kepala ke belakang tubuh Anti. Aku langsung berjalan cepat sebelum Mamak menyadari kelopak mata yang bengkak seperti disengat lebah.
"Eh kenapa tuh?!" teriak Mamak mengundang perhatian. "Woi, Nay?"
Aku memejamkan mata dan menghela napas. "Kerjaan banyak, Mak," ucapku, buru-buru menjauh. Kudengar suara Mamak nampaknya mulai menginterogasi Anti.
Wajahku berpaling ketika mendapati Yai dan Bapak tengah melongo di layar TV menontoni Sriwijaya FC yang kebobolan lagi. Mereka berteriak histeris dan menyerapah. Peluangku terbuka untuk langsung melompat ke kamar sampai kemudian Arya menghadang dengan mainan keretanya.
"Bibi Nayla nangis!" teriaknya melengking. Aku terperanjat dan langsung membekap mulut Arya. "Ssst, diem."
"Nangis kenape, lu?"
Mataku terpejam mendengar suara Yai sudah ada di belakang. Arya berhasil melarikan diri dan melompat di pelukan ibunya. Napasku tertahan melihat Maya juga mengerutkan dahi mendapati kondisiku.
"Nurmi, Nayla sakit mata tuh." Yai berteriak sehingga seisi rumah mendatangiku, kecuali Rudi yang entah ke mana. Mereka mendelik melihat wajahku yang aneh dan kuyakin mirip seperti manusia-manusiaan di Shaun the Sheep. Bapak bahkan langsung menyambar pipiku dan menekan-nekan pinggiran mata.
"Kenapa kamu?" tanyanya garang, yang langsung membuatku menegang.
"Bapak jangan dipegang, nanti tambah infeksi." Mamak memukul tangan Bapak, tapi malah dia yang memegangi mataku dengan ibu jari yang masih berbau cabe. Setelah dia melepas tangannya, kurasakan sensasi terbakar yang luar biasa di kelopak mataku.
Hanya saja aku menahan diri dengan senyuman konyol di depan orang-orang.
"Kayaknya Mbak Nayla habis nangis, deh." Maya yang nampaknya pernah mengalami mata balon ini, tahu penyebab sebenarnya.
"Nangis kenape lu? Ngomong sama gua." Lagi-lagi Yai beraksi berlebihan. Setelah ini dia pasti pura-pura asma.
"Yai, nggak kok, kami tadi dari bioskop." Anti menengahi seraya mendorong bahuku untuk segera masuk kamar. Anehnya, kakiku justru terpaku di lantai dan enggan berpindah satu nano meter pun.
"Lu diapain sama bioskop?" teriak Yai sesak. Aku dan Anti gelagapan bertukar pandang.
"Ng-nggak ...." Kukibaskan tangan dengan cepat.
"Bukan-bukan." Anti turut menggeleng kuat. "Tadi kami nonton, Nayla nangis lihat filmnya."
Yai malah melebarkan mata. "Ehh, jangan boongin gua, lu! Seharian gua nonton TV, Nayla gaada tuh ikutan nonton."
"Bukan kayak gitu, Yai." Kami serempak berdecak.
Setelahnya semua orang langsung buka suara dan terjadilah kegaduhan teriakan serta lengkingan yang tidak sinkron.
Mamak langsung mengambil alih dan menanyaiku mengenai kebenarannya. Bapak mulai mengancam yang tidak-tidak, jika aku tak menceritakan apa-apa. Arya menertawai mataku. Maya turut bertanya, tapi kepada Anti.

KAMU SEDANG MEMBACA
Kebobolan
RomanceKarena kesalahan konyol setelah pandemi, Nayla kini mengandung anak dari pacarnya yang tak kunjung menunjukkan keseriusan. Sebisa mungkin Nayla menyembunyikan kehamilannya sembari meyakini sang pacar, Bayu, untuk segera bertanggung jawab. Dibantu sa...