Dua : Promosi Jabatan

61 4 0
                                        

"Kadang, mengabdiseumur hidup pun, promosi belum tentu didapatkan."


"Aku sudah tahu semuanya dari Anti."

Mataku terpejam. Lama. Kemudian kepalaku menoleh dengan gerakan sekaku robot. "Wa, pliss jangan kasih tahu ini ke Mamak Bapak, yaa," kataku memohon.

Dewa mengatupkan rahang dan berjalan mendekat. "Anti bilang Bang Bayu masih belum mau ngajakin nikah, ya?"

Mataku mendelik. "Em ...," Kemudian mengerjap berkali-kali. "I-iya. Masih belum." Dengan napas tertahan, aku merasakan sedikit kelegaan di dada. Dewa justru sebaliknya, dia nampak gusar.

"Kamu yakin sama dia? Kayaknya udah bertahun-tahun hubungan kalian stuck mulu."

Aku meliriknya sekilas. Kami kemudian berjalan menuju pantry di dapur kantor. "Yeah ... menikah kan bukan kayak main The Sims, yang rumah tinggal bangun sehari, gaji naik terus, dan kalo mati bisa dihidupin lagi." Aku tersenyum pahit. "Keuangan harus mapan dulu. Terus juga perhitungan untuk pendidikan anak ke depannya, nyatuin keluarga, dan yang terpenting ... mental harus siap."

Ketika melihat Dewa yang menghela napas dengan pandangan redup, lidahku langsung berkelit. Aku spontan meminta maaf karena calon istri Dewa dulu tidak siap secara mental. "Aku tidak bermaksud demikian," ucapku sungguh-sungguh.

"Tidak apa, sudah lama juga."

Tanganku mengepal karena suasana tiba-tiba terasa canggung. Aku meliriknya sekilas dan melangkah ke mesin kopi. "Kalau begitu aku akan membuatkanmu kopi." Kuambil cangkir kertas dan memasukkan bubuk kopi ke mesinnya. Selagi membelakangi Dewa dengan dalih menyiapkan kopi, aku berharap laki-laki itu segera bicara lagi.

"Bapak Mamakmu udah ada omongan belum sih tentang kamu sama Bang Bayu? Apalagi Maya sekarang udah hamil lagi."

Meski lega mendengar suara Dewa yang kembali normal, tapi pertanyaannya berhasil menancapkan anak panah tepat di dadaku. Maya adalah istrinya Rudi, adikku yang berjarak empat tahun. Rudi menikah lebih dulu dariku, di mana itu sebenarnya menyalahi aturan masyarakat kami, terutama karena aku perempuan. Seharusnya aku dulu yang menikah, tapi karena Rudi dan Maya kepalang kebelet dan Bang Bayu tak kunjung memberikan lampu hijau, maka aku harus rela menjadi gunjingan tetangga selama tiga bulan.

Aku menggigit bibir dan menatapnya lesu. "Nanti kubicarakan dengan Bang Bayu."

Dewa tersenyum dan mengangguk. Kadang Dewa bertingkah seperti seorang kakak. Aku nyaman sekali ketika merasa ada sosok yang melindungiku. Jabatan anak pertama ini benar-benar membelenggu terutama karena aku perempuan dan banyak tuntutan yang harus kujalankan.

Selepas kerja sore hari, aku terjebak kemacetan parah di Jalan Sudirman, sehingga baru sampai ke dokter kandungan menjelang magrib. Belum lagi antrian super panjang yang sesuai dengan Diagram Piramid Kependudukan, kalau orang Indonesia suka hamil, maksudku suka punya anak.

"Selamat, Bu Nayla, bayinya kembar."

Aku hampir pingsan.

Dokter bahkan meringis melihatku kondisiku tanpa suami di samping. Kepalaku berputar seketika dan napasku tersengal. Aku sempat berharap jika yang ada di dalam perutku hanyalah tumor karena tidak siap punya anak, apalagi dua. Tidak jika tanpa suami.

Pulangnya, Mamak ngoceh panjang lebar karena aku kemalaman. "Ke mana lagi Bayu ngebawa kamu sampe-sampe udah hampir isya kayak gini?"

Jika saja Mamak tahu kalau Bang Bayu sudah meng-unboxing anak pertamanya ini, aku dapat memperkirakan bagaimana cara Mamak membuat rumah ini meledak.

KebobolanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang